Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REKAMAN percakapan itu terdengar samar-samar. Sejumlah pria berbicara, sebagian dengan logat Jawa Timur yang kental. Sesekali terdengar nama Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) disebut, juga nama stasiun televisi RCTI dan Indovision. Mereka berbincang dua menit lebih sedikit.
Sepotong-sepotong tertangkap kalimat seperti ini: "Kami kepingin ada satu channel di Indovision itu, yaitu informasi tentang Partai Hanura."
Di bagian lain, percakapan mengarah ke soal kampanye dan bantuan pemberitaan. "Nanti aku mau izin, pokoknya kalian mau bikin berita, baik teks atau apa pun, langsung ke Willy saja. Willy yang koordinir semua."
Satu suara menyahut, terdengar bersemangat, "Ini sudah kami programkan di partai lama. Mudah-mudahan bersama Hanura bisa dilakukan lagi, Pak Arya."
Meski singkat, rekaman audio yang diunggah ke situs media sosial YouTube pada Mei tahun lalu itu punya makna luar biasa. Inilah untuk pertama kalinya rencana pengurus sebuah partai memanfaatkan lembaga penyiaran demi kepentingan kampanye politik terbongkar dengan terang-benderang.
ARYA Sinulingga semula hanya tertawa ketika diingatkan soal insiden video YouTube itu. Ditemui pada awal Desember lalu, Sekretaris Perusahaan PT Media Nusantara Citra (MNC) Group ini tak membantah kalau rekaman percakapan tersebut berkaitan dengan rencana pemenangan Partai Hanura di Jawa Timur.
Arya sendiri adalah Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu Hanura. Ketua badan itu adalah bos MNC, Hary Tanoesoedibjo.
"Itu hanya permintaan pemberitaan. Lalu salahnya di mana?" ujar Arya tenang ketika didesak soal benar-tidaknya isi percakapan itu. Suaranya berubah serius. Dia mengklaim permintaan kader-kader Hanura itu tak pernah benar-benar dipenuhi MNC.
Tanpa berusaha menutupi, Arya—yang juga menjabat Pemimpin Redaksi Global TV—menjelaskan bahwa percakapan dua menit itu terjadi di kantor Perindo di Surabaya, Jawa Timur. Perindo adalah singkatan dari Persatuan Indonesia, organisasi kemasyarakatan yang didirikan Hary Tanoe selepas dia keluar dari Partai NasDem.
Menurut Arya, permintaan pemberitaan semacam itu seharusnya bisa dimaklumi. Soalnya, Komisi Pemilihan Umum melarang partai dan calon legislator memasang iklan di media sampai tiga pekan menjelang hari pemungutan suara. "Waktunya sempit sekali untuk memperkenalkan diri secara langsung kepada masyarakat," ucapnya.
Karena itulah, kata Arya, kampanye Hanura banyak mengandalkan media massa. Siaran televisi diyakini mampu menyebarkan informasi secara cepat dan akurat untuk audiens dalam jumlah yang amat besar. "Kami menyebutnya serangan udara," ujarnya. Berita positif dan iklan yang terus-menerus adalah "peluru-peluru" untuk memenangi pertempuran di udara itu.
Ketika popularitas mulai terkerek naik, barulah para politikus Hanura turun ke lapangan, mengetuk pintu dari rumah ke rumah, untuk mencari dukungan riil. "Ini namanya serangan infanteri," kata Arya. Untuk mendongkrak elektabilitas Hanura tiga bulan menjelang pemilihan legislatif 9 April nanti, dia mengakui partainya sedang melakukan serangan udara dan infanteri secara besar-besaran. "Ini harus simultan."
Tentu bukan hanya Hanura dan Hary Tanoesoedibjo yang gencar melakukan "serangan udara" di layar kaca. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie juga beriklan di dua stasiun TV miliknya: TV One dan ANTV. Kepada wartawan, Aburizal mengakui memasang iklan sebanyak-banyaknya adalah bagian dari strategi kampanyenya. "Iklan itu saya bayar," kata Aburizal pada akhir November lalu. "Meskipun dapat diskon banyak juga," ujarnya sambil tersenyum lebar.
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh tak mau ketinggalan. Sebagai bos Media Group, yang terafiliasi dengan Metro TV, wajah Surya kerap muncul di acara stasiun TV itu. Acara Partai NasDem juga sering ditayangkan, lebih banyak daripada pemberitaan mengenai partai lain.
Berkat strategi itu, kini elektabilitas Hanura, NasDem, dan Golkar terus merambat naik. Sebuah survei terakhir bahkan menyebutkan dukungan buat Hanura dan NasDem sudah di atas 6 persen, di atas partai lama, seperti Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera. Sedangkan Golkar tak pernah turun dari kisaran 15-20 persen.
SATU-SATUNYA harapan untuk mengerem pemanfaatan frekuensi publik buat kampanye ada di pundak Komisi Penyiaran Indonesia. Sayangnya, itu pun kini makin jauh panggang dari api. Kasus rekaman Hanura di YouTube saja kini tak jelas kelanjutannya.
Padahal, ketika rekaman itu pertama kali terungkap pada Mei lalu, KPI langsung memanggil Hary Tanoesoedibjo sebagai Direktur Utama MNC Group dan kakaknya, Direktur Utama PT MNC SkyVision Bambang Roedijanto Tanoesoedibjo. Komisioner meminta mereka menjelaskan ada apa di balik rencana kongkalikong itu. Tapi keduanya tak pernah datang.
Dua Komisioner KPI yang getol menindaklanjuti kasus ini, Eski Tri Rezeki Widianti dan Nina Mutmainnah Armando, sekarang tak terpilih lagi menjadi komisioner. Kasus ini pun seperti dipetieskan.
Bersamaan dengan meredupnya kelanjutan kasus itu, Hanura menemukan cara baru melakukan "serangan udara". Strategi anyar ini melibatkan acara berjudul Kuis Kebangsaan, yang ditayangkan setiap hari di RCTI.
Acara ini tanpa malu-malu mempromosikan Hanura dan pasangan calon presiden-wakil presiden mereka: Wiranto-Hary Tanoesoedibjo. Setiap kali Kuis Kebangsaan ditayangkan, pembawa acara kuis ini meminta warga yang menelepon untuk berseru, "Bersih, Peduli, Tegas." Tiga kata itu adalah slogan kampanye "Win-HT"—begitu pasangan Wiranto-Hary Tanoe menyebut diri mereka. Arya sendiri membantah kalau acara itu disebut kampanye. "Itu iklan, kok. Silakan diperiksa," katanya.
Menghadapi model kampanye baru seperti ini, KPI tampak mati langkah. Agatha Lily, komisioner baru KPI yang bertanggung jawab mengawasi isi siaran, mengaku tak menemukan pelanggaran Undang-Undang Penyiaran ataupun Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran di acara kuis itu. "Diubrek-ubrek juga enggak ketemu," ujarnya.
Karena itulah, kata Agatha, KPI memilih merampungkan aturan teknis baru sebagai senjata mereka. Rancangan peraturan KPI yang dinamakan Pengaturan Pemanfaatan Lembaga Penyiaran untuk Kepentingan Politik ini mulai disosialisasi pada November lalu. Sepekan kemudian, pada awal Desember, Komisi Informasi Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan dukungannya terhadap rancangan peraturan tersebut.
Masalahnya, entah dengan pertimbangan apa, KPI juga menyodorkan rancangan aturan itu kepada industri penyiaran, yang kemudian menolaknya mentah-mentah. Walhasil, senjata baru KPI itu langsung masuk kotak. Padahal "serangan udara" dari berbagai partai kini makin kerap menyerbu layar kaca.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo