Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Setelah Ditinggal Bumi

8 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERINGATAN muncul sejak jauh hari. Satu setengah tahun lalu, Badan Pemeriksa Keuangan wanti-wanti agar ganti rugi kepada korban semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo segera dirampungkan. Jika tidak, kerugian bakal menggunung hingga Rp 32,9 triliun pada 2015. Ini akibat membengkaknya kerugian ekonomi langsung—berupa hilangnya aset dan pendapatan—yang melipat 14 kali dari Rp 1,4 triliun pada 2006 menjadi Rp 19,9 triliun pada 2015.

Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, Lapindo sejatinya hanya kebagian mengganti tanah dan bangunan serta biaya tanggap darurat. Nilainya Rp 3,4 triliun.

Ketika itu, pengendali Lapindo— keluarga Bakrie—sedang berjaya. Majalah Globe Asia bahkan mencatatkan keluarga ini sebagai yang terkaya se-Asia Tenggara pada 2008. Semua itu berkat melambungnya harga batu bara dunia yang membikin saham produsen batu bara grup ini, Bumi Resources, melejit sampai 600 persen.

Tapi Nirwan Dermawan Bakrie, penanggung jawab kelompok usaha Bakrie, menyampaikan, mereka kesulitan karena dana itu tidak sedikit. Apalagi jatuh tempo pembayaran 80 persen pada Desember ini. ”Nah, mulai Desember, Januari, dan Februari kelak, kan butuh dana banyak,” ujarnya.

Yosep Suprayogi


Sidoarjo 2015

JIKA lumpur tak kunjung surut seperti diramalkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, pada 2015 volume lumpur akan mencapai sekitar 275,8 juta meter kubik. Ini cukup untuk menggenangi area 551 kilometer persegi—sekitar 80 persen wilayah Kabupaten Sidoarjo atau dua pertiga DKI Jakarta.

Berikut ini proyeksi kerugian ekonomi versi BPK.

TOTAL KERUGIAN EKONOMI
Rp 32,9 triliun

Biaya ekonomi langsung: Rp 19,9 triliun (60,5%)
Kehilangan aset: Rp 17,7 triliun (89%)
Kehilangan pendapatan: Rp 2,2 triliun (11%)
Biaya ekonomi tidak langsung: Rp 7,4 triliun (22,52%)
Biaya ekonomi relokasi: Rp 5,6 triliun (17,02%)

SIAPA PALING RUGI?
Masyarakat: Rp 29,4 triliun (89,27%)
Negara: Rp 2,35 triliun (7,14%)
Badan usaha negara: Rp 210 miliar (0,64%)
Swasta: Rp 970 miliar (2,95%)

SUMBER: LAPORAN BPK 2007

HARGA SAHAM BUMI RESOURCES 2006-2008

  • 2007: Rp 2.750
  • 2007: Rp 7.950
  • 2008: Rp 8.550
  • 2008: Rp 760

    29 MEI 2006
    Lumpur panas menyembur di area sumur eksplorasi minyak/gas PT Lapindo Brantas Inc. di Renokenongo, Sidoarjo.

    21 JUNI
    Pihak Lapindo mengaku telah menyiagakan dana US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar).

    AGUSTUS
    Lapindo memberikan uang sewa rumah Rp 2,5 juta setahun per keluarga selama dua tahun kepada korban.

    8 SEPTEMBER
    Presiden membentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo, yang bertugas selama enam bulan.

    NOVEMBER
    Tim riset Danareksa menaksir kerugian akan meningkat dari US$ 180 juta menjadi US$ 3 miliar.

    DESEMBER 2006
    Kekayaan keluarga Bakrie ditaksir US$ 1,2 miliar (Rp 11,04 triliun), menempatkan keluarga itu di peringkat ke-6 keluarga terkaya di Indonesia.

    Kekayaan Keluarga Bakrie
    Rp 11,04 triliun

    Beban ganti rugi Lapindo
    Rp 1,6 triliun

    Wilayah Bencana
    Luas genangan: 345 ha
    Jatirejo: 3.420 jiwa
    Siring: 4.240 jiwa
    Kedungbendo: 22.833 jiwa
    Renokenongo: 4.753 jiwa

    8 MARET 2007
    Lapindo menyatakan telah menghabiskan Rp 1,3 triliun untuk penanganan semburan dan dampak sosial lumpur di Porong, Sidoarjo.

    22 MARET
    Pemerintah memperbaharui peta bencana dengan memasukkan tiga daerah baru.

    8 APRIL
    Turun Peraturan Presiden tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo sebagai pengganti Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo. Mengacu pada peraturan ini, kewajiban Lapindo Rp 3,4 triliun.

    26 JUNI
    Presiden meminta Lapindo mempercepat pembayaran 20 persen uang muka untuk 10 ribu kepala keluarga mulai 1 Juli 2007 selama 10 pekan berturut-turut.

    Wilayah Bencana
    Luas genangan: 470 ha
    Glagaharum: 3.667
    Kalitengah: 8.971
    Mindi: 4.556

    14 SEPTEMBER
    Tenggat pembayaran uang muka 20 persen habis, Lapindo gagal memenuhi permintaan Presiden.

    DESEMBER 2007
    Berkat kenaikan harga batu bara, nilai saham Bumi Resources melejit dan mendongkrak kekayaan keluarga Bakrie menjadi US$ 5,4 miliar (Rp 50 triliun). Keluarga ini menjadi keluarga terkaya di Indonesia.

    Kekayaan Keluarga Bakrie

    Rp 50 triliun

    Beban ganti rugi Lapindo

    Rp 3,4 triliun

    SUMBER: FORBES

    28 MEI 2008
    Tenggat Lapindo untuk mulai membayar sisa 80 persen tunai. Pembayaran pertama dilakukan Lapindo kepada 11 warga Siring senilai Rp 2,054 miliar.

    MEI 2008
    Saham Bumi Resources kian berkibar. Kekayaan keluarga Bakrie menjadi US$ 9,2 miliar (sekitar Rp 84,6 triliun).

    Keluarga Bakrie tak cuma yang terkaya se-Indonesia, tapi se-Asia Tenggara.

    Kekayaan Keluarga Bakrie

    Rp 84,6 triliun

    Beban ganti rugi Lapindo

    Rp 3,4 triliun
    (data 2007)

    11 JUNI
    Presiden menerbitkan Peraturan Presiden yang merevisi Perpres No. 14 Tahun 2007. Tiga desa—Kedungcangkring, Pejarakan, dan Besuki—dimasukkan ke peta bencana, namun pembiayaannya ditanggung negara.

    Wilayah Bencana
    Kedungcangkring: 3.818 jiwa
    Pejarakan: 1.609 jiwa
    Besuki: 3.499 jiwa

    23 OKTOBER
    PT Minarak Lapindo Jaya mengirim surat ke Ketua Dewan Pengarah BPLS Djoko Kirmanto meminta pemerintah menalangi biaya penanggulangan lumpur.

    3 NOVEMBER
    Minarak mencabut surat 23 Oktober.

    11 NOVEMBER
    Lapindo mengaku telah mengeluarkan dana pembelian tanah/bangunan warga sekitar Rp 1,8 triliun. Menurut Ketua Paguyuban Renokenongo Sunarto ada 465 berkas yang belum dibayar.

    27 NOVEMBER
    Presiden memanggil Nirwan dan mendesak Lapindo melunasi uang muka 20 persen ganti rugi sebesar Rp 49 miliar.

    30 NOVEMBER
    Seribuan warga korban lumpur dari Siring, Jatirejo, Kedungbendo, dan Renokenongo berangkat ke Jakarta untuk menggelar unjuk rasa di Istana.

    1 DESEMBER
    Lapindo gagal menepati tenggat yang diminta Presiden.

    3 DESEMBER
    Presiden kembali memanggil Nirwan.

    ”Saya sudah merasa tidak nyaman dengan suasana ini,” ujarnya. ”Saya kecewa, Aceh saja bisa diselesaikan, kenapa ini tidak?”

    SUMBER: FORBES, GLOBE ASIA, BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR SIDOARJO, MINARAK (DIOLAH)

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus