Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dalam tiga tahun terakhir, usulan perubahan UUD 1945 selalu beriringan dengan isu penundaan pemilu.
Amendemen UUD 1945 tidak boleh membahayakan demokrasi.
Pimpinan MPR menegaskan bahwa amendemen UUD 1945 dilakukan setelah Pemilu 2024.
JAKARTA – Rencana amendemen Undang-Undang Dasar 1945 kembali bergulir. Dalam tiga tahun terakhir, usulan perubahan UUD 1945 selalu beriringan dengan isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Begitu juga kali ini. Selain menambahkan pasal tentang penundaan pemilu dalam kondisi darurat, muncul skenario mengembalikan kewenangan MPR untuk memilih presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usul tersebut diembuskan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kepada Tempo, Ketua DPD La Nyalla Mattalitti menyebutkan lima poin yang mereka usulkan untuk merombak UUD 1945. “Satu di antaranya mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, yang memilih dan melantik presiden,” kata dia, akhir pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
La Nyala menilai, selama ini UUD 1945 telah memberikan ruang yang sangat besar kepada partai politik. Bahkan penentuan calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilih oleh rakyat berada di tangan ketua umum partai politik. "Sehingga tidak salah bila presiden disebut sebagai petugas partai," kata dia, kemarin, 13 Agustus 2023. "Ini berbeda (jika presiden) mandataris MPR, yang sejatinya petugas rakyat."
Sebagai lembaga tertinggi negara, kata La Nyalla, MPR akan memiliki wewenang untuk haluan negara bagi kerja presiden melalui Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Ia mengklaim telah meminta MPR agar amendemen UUD 1945 digelar sebelum Pemilu 2024.
Ketua MPR Bambang Soesatyo (kiri), Ketua DPD La Nyalla Mattalitti, dan Wakil Ketua DPD Mahyudin setelah mengikuti rapat gabungan di Ruang Delegasi, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 10 Juli 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Ketua MPR Bambang Soesatyo secara gamblang mengatakan, pada 8 Agustus 2023, rapat pimpinan MPR memang bersepakat merencanakan amendemen UUD 1945. Sehari kemudian, niat itu disampaikan kepada Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan. Rapat konsultasi dengan Presiden tersebut sedianya untuk mematangkan persiapan penyelenggaraan sidang tahunan MPR yang akan digelar pada 16 Agustus mendatang.
Bambang Soesatyo menyatakan, amendemen konstitusi diperlukan, di antaranya untuk mengatur penundaan pemilu jika negara menghadapi kondisi darurat. Dia menyebutkan, kondisi darurat yang dimaksudkan seperti terjadinya bencana alam, peperangan, pandemi, ataupun krisis ekonomi. Menurut Bambang, Badan Pengkajian serta Komisi Kajian Ketatanegaraan tengah mengkaji secara mendalam dan menyeluruh UUD 1945. Namun dia menegaskan bahwa pembahasan amendemen bisa dilakukan setelah Pemilihan Umum 2024. “Sehingga tidak ada lagi kecurigaan untuk memperpanjang masa jabatan para pejabat di periode ini,” kata Bambang.
Pasca-reformasi, UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan. Amendemen dilakukan secara berturut-turut mulai 1999 hingga 2002 dalam sidang tahunan MPR. Amendemen ini, antara lain, mengubah sistem pemerintahan dari semi-presidensial menjadi presidensial murni dengan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua periode. Pemilihan presiden dan wakil presiden, yang semula berada di tangan MPR, diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Dengan kedudukan MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, kewenangannya terbatas pada mengubah dan menetapkan UUD.
Isu amendemen kembali muncul pada periode kedua kepemimpinan Joko Widodo. Isu ini diawali dengan gerakan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Paling tidak, gerakan ini mengemuka pada masa penanganan pandemi Covid-19. Serangan wabah dijadikan dalih untuk menetapkan keadaan darurat yang menghambat persiapan pemilu. Agar skenario tersebut bisa berjalan, diperlukan amendemen UUD. Wacana muncul ketika Badan Pengkajian MPR juga mengusulkan masuknya klausul PPHN dalam Undang-Undang Dasar. Namun usul ini mendapat protes dari publik dan berbagai kelompok masyarakat sipil. Terutama karena ada usul memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Rencana ini juga gagal karena tak mendapat dukungan dari mayoritas partai politik di parlemen.
Polisi melintas di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan bahwa amendemen konstitusi untuk memasukkan pasal penundaan pemilu dalam kondisi darurat harus dilakukan secara jernih, komprehensif, serta ditopang kajian yang kuat dan kokoh secara akademik. Pembahasannya juga harus disertai dengan konsultasi publik secara masif, meluas, dan melibatkan seluruh elemen bangsa.
Jika dipaksakan, Titi khawatir rencana amendemen konstitusi justru akan mengancam demokrasi di Indonesia. "Karena sangat rentan dipolitisasi bagi kepentingan pragmatis kelompok politik tertentu,” ujar pengajar bidang studi hukum tata negara pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.
Agenda perubahan kelima Undang-Undang Dasar 1945 memang terus berlanjut. Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid berharap publik tak khawatir dan menghubungkan isu amendemen UUD 1945 dengan upaya perpanjangan masa jabatan presiden. Dia kembali menegaskan bahwa pembahasan amendemen UUD 1945 tak akan dilakukan sebelum penyelenggaraan Pemilu 2024. Pimpinan MPR sudah bersepakat untuk menutup manuver perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden tiga periode. "Jadi, UUD 1945 tetap apa adanya. Pemilu lima tahun sekali, tetap Februari 2024. Dan masa jabatan presiden hanya dua periode," ujarnya.
AVIT HIDAYAT | IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo