Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Solusi Semu Mengatasi Krisis Iklim

Pegiat lingkungan mengecam perdagangan karbon PLTU batu bara. Skema itu dinilai kontradiktif dengan tujuan pengurangan emisi.

23 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perdagangan karbon memberi ruang bagi perusahaan penyebar emisi.

  • Batas atas emisi dinilai terlalu mudah dicapai.

  • Bisa dijadikan dalih untuk memperpanjang masa pakai PLTU tua.

JAKARTA- Pegiat lingkungan mengecam pelaksanaan perdagangan karbon pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang dipromosikan pemerintah sebagai solusi mengatasi krisis iklim. Alasannya, skema perdagangan karbon adalah jalan keluar semu yang kontradiktif dengan tujuan pengurangan polusi dan emisi.

“Perdagangan karbon memberikan ruang kepada perusahaan yang melakukan penyebaran emisi untuk terus berproduksi, tanpa harus mengurangi emisinya,” ujar Pengkampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, kepada Tempo, kemarin.

Sebagaimana diketahui, pemerintah baru saja meresmikan praktik perdagangan karbon untuk PLTU batu bara, dengan mewajibkan 99 PLTU milik 42 perusahaan ikut serta. Skema perdagangan ini diyakini tak akan efektif, dan berujung menguntungkan pebisnis PLTU batu bara. “Mereka akan berpikir, dengan kuota karbon yang mereka beli (dari PLTU lain), mereka punya hak untuk berpolusi di negara ini,” ucap Iqbal. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Menurut dia, dengan berlakunya mekanisme perdagangan karbon, pebisnis PLTU malah tidak akan mengurangi emisinya, dan memilih menebus emisi dengan membeli kuota karbon. Padahal, Iqbal menambahkan, ada atau tidak adanya perdagangan karbon, menjaga lingkungan merupakan kewajiban bersama. "Itulah mengapa kami memandang ini sebagai kebohongan yang berbahaya dalam menghadapi krisis iklim."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PLTU Babelan di Bekasi, Jawa Barat, 9 Januari 2023. Tempo/Tony Hartawan


Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, berujar skema perdagangan karbon perlu ditinjau kembali sinerginya dengan inisiatif Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP).

Pasalnya, JETP ditujukan untuk membantu Indonesia beralih dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan pada saat yang sama melakukan upaya pengembangan energi terbarukan. "Skema JETP tidak hanya mengupayakan penurunan emisi PLTU yang ada, tapi juga ada pengakhiran PLTU," katanya.

Batas Emisi Terlalu Tinggi 

Secara spesifik, Fabby pun menyoroti batas emisi yang dinilai masih terlalu tinggi. Hal itu merujuk pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral  Nomor 16 Tahun 2022, yang mengatur tentang Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) Pembangkit Tenaga Listrik untuk PLTU Batu Bara, yang dirinci dalam empat kategori sesuai dengan kapasitas terpasangnya.

Sebagai contoh, untuk PLTU dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 25 MW sampai kurang dari 100 MW, nilai PTBAE yang ditetapkan sebesar 1.297 ton CO2e/MWh. “Seharusnya batas atas bisa lebih rendah lagi, supaya penurunan emisinya lebih terasa. Karena, kalau seperti ini, upayanya tidak terlalu besar untuk menurunkan emisi hingga batas tersebut,” ucap Fabby.

Terakhir, kata dia, pengawasan pemenuhan ketentuan batas atas hingga implementasi perdagangan karbon, kata Fabby, harus dilakukan dengan ketat, adil, dan transparan. "Harus diperketat supaya tidak ada yang curang, karena sering kali urusan seperti ini pengawasannya lemah,” katanya.

Sedangkan Andri Prasetyo, peneliti Trend Asia, menyatakan skema perdagangan karbon bisa dipakai untuk memperpanjang masa operasi PLTU tua yang sudah tidak efisien. Seharusnya, kata dia, pembangkit-pembangkit tua seperti PLTU Suralaya 1-4 dan PLTU Paiton segera dipensiunkan. "Jangan sampai perdagangan karbon dijadikan alasan menunda pensiun PLTU," ucapnya. 

Pembangkit Listrik Tenaga Uap Muara Karang, Jakarta. TEMPO/Subekti

Menteri Energi  Arifin Tasrif sebelumnya menuturkan perdagangan karbon pada tahun ini baru permulaan. Dia berharap skema perdagangan karbon ini bisa mendorong pelaku usaha lebih agresif mengurangi emisi. Sekitar 60 persen pembangkitan di dalam negeri menggunakan bahan bakar batu bara, sehingga sektor ini berkontribusi sekitar 40 persen dari total emisi Indonesia.

"Indonesia tengah mengejar target-target ambisius pengurangan emisi," ucap Arifin. Dalam nationally-determined contribution, Indonesia sudah berkomitmen menurunkan emisi sektor energi sebanyak 369 juta ton CO2 pada 2030. Selain itu, pemerintah menargetkan bisa mencapai netral karbon pada 2050. Target-target untuk menjadi pengguna energi bersih inilah yang kemudian mendatangkan pembiayaan lewat skema JETP senilai US$ 20 miliar.

VINDRY FLORENTIN | GHOIDA RAHMAH

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus