Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pelanggan PLN di Cengkareng, SL dan keluarganya, harus menerima kenyataan pahit. Mereka terpaksa menerima vonis denda sebesar Rp 33 juta, karena temuan pemasangan kWh Meter yang dianggap ilegal sejak 2016 lalu. Mereka pun harus menerima bahwa petugas yang melakukan pemasangan dan pengecekan selama ini dianggap oknum oleh PLN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menyerah dan tak berniat memperpanjang 'perlawanan', SL dan keluarga akhirnya memohon keringanan cicilan sepanjang mungkin. Sambil, SL berharap pengalaman keluarganya dapat membuat PLN bisa memperbaiki regulasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Harapannya ke depan, PLN bisa meninjau ulang UU P2TL-nya (Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik) agar lebih adil ke dua belah pihak, pelanggan dan PLN, bukan hanya salah satu pihak,” kata SL lewat pesan WhatsApp pada Senin malam, 27 November 2023.
Selain itu, SL berharap agar PLN bisa memastikan seluruh tim di lapangan baik outsource atau bukan. Dengan begitu, kata dia, PLN bisa memiliki standar prosedur kerja yang sesuai dan seragam. Hal itu juga harus diimbangi dengan sosialisasi kepada pelanggan.
Dia mencontohkan perihal apa saja yang harus dipastikan oleh pelanggan terhadap orang yang mengatasnamakan PLN. “Jangan setelah kejadian baru kami diajari 'harusnya memastikan lewat name tag, harusnya minta surat tugas', wong kita awam mana mungkin paham SOP kerja PLN. Ini harusnya tugas PLN.”
Sebelumnya, keluarga SL telah berupaya untuk mengajukan keberatan atas denda PLN Rp 33 juta yang dijatuhkan Agustus lalu. Mereka bahkan sudah melalui tahap diskusi bersama PLN sampai dengan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM. Itu adalah upaya terakhir mereka untuk meminta keringanan. Namun, hasilnya tetap tak sesuai harapan.
Mereka menyatakan tak berniat untuk menggugat denda lebih jauh, sekalipun dibuka peluang untuk melakukannya, setelah apa yang dialami selama ini.
Mereka mengaku merasa sudah tidak ada lagi sumber daya yang cukup untuk melawan vonis yang diberikan. Baik dari segi dana, tenaga, dan waktu. Itu sebabnya, tawaran membawa permasalahan ke pengadilan tak akan diambil. “Urusan pembayaran denda, kami akan berusaha cari cara sendiri,” kata SL.