Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMANA Santa lima tahun silam begitu kelam bagi Yohanes Pati Sogen. Laki-laki 57 tahun ini masih mengingat jelas kejadian selepas Minggu Palma. Senin dinihari, Pati terbangun karena mendengar keriuhan di depan rumahnya. Saat mengintip dari jendela, ia melihat hampir semua penduduk Desa Lamika—dulu Kecamatan Larantuka, kini Demon Pagong—berteriak-teriak menyuruhnya keluar. ”Saya dituduh suanggi (orang dengan ilmu hitam yang bisa menyakiti atau membunuh),” kata Pati.
Tiba-tiba batu memecahkan kaca jendela. Sadar bahaya mengancam, Pati langsung menyambar parang untuk jaga-jaga. Tapi istrinya, Benedicta Bongeira, mencegahnya. ”Saya bilang, ’Ingat anak kita,’” kata Benedicta. Akhirnya, suami-istri itu kabur bersama anak mereka yang saat itu berusia 13 tahun, Lambertus Mewang Sogen, lewat pintu belakang. Tanpa alas kaki dan hanya ditemani seekor anjing, mereka berlari kencang. Beruntung Benedicta sempat mengambil buku tabungan mereka.
Sehari-semalam mereka naik-turun bukit dan tidur di bawah pepohonan. Akhirnya, mereka melapor ke kepolisian. Polisi menyatakan rumah keluarga Sogen telah dibakar massa. Padi dan jagung yang baru dipanen dan memenuhi dua lumbung ikut hangus. Ternak ayam, kambing, dan babi ditusuk dengan tombak. Saat itulah air mata pasangan ini membanjir.
Sejak 1990-an, Pati sudah dicap sebagai suanggi atau suangi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. ”Saya seperti Yesus yang dituduh bersalah oleh Pilatus,” katanya. Lebih menyesakkan lagi, kata Pati, semua penduduk kampung yang menuduhnya beragama Katolik dan sebagian besar aktif di gereja. Pati dan keluarganya yang dulu memiliki perkebunan jambu mete tak mau lagi ke Lamika dan memilih tinggal di Kelurahan Weri. ”Buat apa kembali ke sana kalau cuma dituduh jadi suanggi. Malah kami cepat mati,” Benedicta menimpali.
Emanuel Temaluru, pastor diosesan Keuskupan Larantuka, mengatakan suanggi memang masih ada meski gereja Katolik sudah 400 tahun bercokol di wilayah ini. Dulunya, suanggi adalah pelindung kampung atau kerajaan. Kekuatan ilmu tak akan hilang sampai suanggi mati, dan ilmu itu diwariskan turun-menurun. Sekarang, suanggi malah menjadi orang jahat yang bisa menyakiti atau membunuh. ”Praktek magis masih mengakar sampai sekarang,” kata Eman.
Penguasa adat Kampung Waibalun, Bernadus Kudi Balun, mengatakan kepercayaan adanya suanggi terjadi di Larantuka dan sekitarnya. Tapi di Larantuka, orang mulai meninggalkan kepercayaan itu. Kepercayaan ini agak marak di daerah lain, seperti di Pulau Adonara dan Solor.
Biasanya seseorang dituduh suanggi jika ada orang yang sakit keras atau meninggal tiba-tiba. Saat ada orang sakit, mola—semacam dukun—memberikan ramuan akar tanaman. Si sakit, setelah minum ramuan, bakal kesurupan. Nah, saat itulah dia akan mengucap nama orang yang diduga suanggi. Orang ini, dan juga semua keturunannya, akan dijauhi warga. Biasanya si suanggi kemudian diusir dari kampung.
Ada pula kepercayaan menjaga kubur baru orang yang meninggal karena diduga kena ilmu suanggi. Sebagian masyarakat percaya, suanggi akan mengambil keahlian yang tertinggal di jasad. Jika penjaga kubur melihat wajah orang tertentu, keluarga korban akan mendatangi rumah tersangka suanggi. ”Kadang yang dituduh suanggi tak bisa terima, lalu terjadilah perkelahian,” kata Kudi Balun.
Yang paling apes, kerabat si sakit langsung membunuh si suanggi. Inilah yang menimpa nenek moyang Uskup Larantuka, Monsinyur Fransiskus Kopong Kung. Kakek generasi kelima di atas Fransiskus dipenggal, juga di Desa Lamika. Jika istri si kakek yang tengah hamil tak melarikan diri, tentu bukan Kopong Kung yang menjadi uskup saat ini. ”Adik sepupu saya dua tahun lalu juga diusir karena orang sering mimpi dia bikin susah,” katanya.
Uskup mengakui tak mudah menghilangkan kepercayaan soal suanggi dan suanggi itu sendiri. Musababnya, kepercayaan itu sudah ada jauh sebelum gereja Katolik menebar ajaran di Larantuka. Apalagi ia menduga kebanyakan suanggi tergolong saleh dan rajin berdoa. Pastor Eman bahkan berani menyatakan sejumlah suanggi menduduki posisi awan yang penting di gereja setempat.
Sejak beberapa tahun lalu, Eman mengaku aktif menggerakkan kelompok Mukjizat Ilahi. Grup ini aktif mendekati dan menyadarkan orang yang diduga suanggi. Tak mudah memang karena suanggi tak mau terbuka. Cara penyadaran yang digunakan mirip film The Exorcist. ”Kami doakan saja hingga kekuatannya hilang,” ujarnya.
Cara lain menghilangkan pengaruh suanggi adalah dengan menggelar upacara adat. Menurut Bernadus Kudi Balun, suanggi mengakibatkan kondisi panas atau kotor yang biasa disebut mila kwuta. Para pemimpin adat kampung menghelat upacara glete gluwer (pemulihan). Kambing atau babi disembelih dan diedarkan ke tempat-tempat yang dipercaya dihuni para leluhur yang sudah meninggal.
Toh, Yohanes Pati Sogen sudah pernah meminta glete gluwer diadakan di Lamika untuk membuktikan tuduhan kepadanya. Pati sampai berani mati jika glete gluwer mampu menunjukkan kesuanggiannya. Dua kali upacara digelar, nyatanya ia tetap hidup. Tapi pada Semana Santa 2005, terbukti sudah glete gluwer tak ampuh menghilangkan tuduhan hasil celotehan orang kesurupan.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo