Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Singapura - Mulai tahun depan Singapura akan memberlakukan aturan baru yang melarang sekitar 100 ribu pegawai negeri sipil (PNS) negara itu menggunakan Internet selama berada di tempat kerja. Pemerintah beralasan ingin memperketat langkah-langkah keamanan IT.
PNS masih bisa mengakses Internet tapi hanya menggunakan telepon seluler pribadi atau sabak digital (tablet) yang tidak memiliki akses ke sistem e-mail pemerintah. Siapa saja yang membutuhkan Internet untuk bekerja akan disediakan terminal Internet. Pemerintah mewaspadai kemungkinan karyawan mengunduh malware di komputer kerja atau berbagi dokumen sensitif secara online.
Telah diketahui bahwa beberapa instansi dan usaha di Singapura, bahkan bank, perusahaan telekomunikasi, kasino, hingga bar, jarang menggunakan terminal untuk akses Internet, meskipun mereka memiliki kebijakan komputer yang paling ketat.
Kebijakan terbaru ini bukan tanpa kritikan. Wakil Presiden Eksekutif Cloud Security Alliance Asia-Pasifik Aloysius Cheang mengatakan tindakan pemerintah akan menggeser pelayanan publik kembali ke 1990-an.
Ia menambahkan, saat itu sulit bagi malware untuk mengekstrak informasi sensitif dari dalam jaringan pemerintah. "Sekarang sulit untuk mengontrol kebocoran apa pun di media sosial atau situs berbagi file," kata Cheang.
Asian Correspondent, Rabu, 8 Juni 2016, mengatakan masyarakat Singapura juga tidak senang dengan kabar tersebut. Banyak yang menulis di Facebook mengatakan mereka telah didorong kembali ke zaman batu.
Seorang netizen, Susan Tan, mencatat bahwa guru juga akan terpengaruh oleh aturan yang akan sangat menghambat alur kerja mereka itu. "Beberapa teman guru sekolah menengah membutuhkan Google untuk mempersiapkan bahan-bahan kursus dan memverifikasi informasi. Mereka bekerja 12 jam sehari dan jika mereka harus mentransfer data secara fisik (dari PC dengan akses Internet) ke PC kerja mereka, beban kerja mereka akan sangat meningkat."
Netizen lain mengkritik kurangnya pemerintah mempercayai keamanan mereka sendiri, membandingkannya dengan Korea Utara dan Myanmar. "Itu karena kita tidak cukup pintar untuk membuat solusi keamanan Internet sendiri yang kuat dan apa yang tersedia secara komersial tidak dapat membuat itu, jalan keluar yang mudah adalah memotong akses Internet," tulis Wilkie Ong.
ASIAN CORRESPONDENT | MECHOS DE LAROCHA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini