Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini sangat tiba-tiba. Kami terkejut.” Pernyataan keras itu terlontar dari mulut Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia Ismanu Soemiran, Kamis pekan lalu. Dia bicara tentang Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.03/2009. Aturan itu membatasi ongkos promosi rokok yang boleh dipotong dari pendapatan bruto.
Sebelumnya, biaya promosi rokok diatur melalui surat edaran Dirjen Pajak yang dikeluarkan pada 2 Oktober 1990. Berdasarkan aturan itu, perusahaan rokok boleh beriklan berapa saja asal tak lebih dari 2 persen pendapatan bruto untuk perusahaan dengan nilai penjualan di atas Rp 100 miliar dan maksimal 5 persen bagi yang penjualannya di bawah Rp 100 miliar.
Nah, peraturan yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 10 Juni lalu itu menetapkan ongkos promosi yang boleh diambil dari penghasilan bruto maksimal hanya Rp 100 miliar. Tentu perusahaan boleh berpromosi lebih, tapi dengan konsekuensi ekses biaya dipotong dari pos pemasukan alias memeloroti keuntungan.
Ini yang membuat Ismanu bingung. Apalagi aturan itu diberlakukan surut mulai dari awal Januari 2009. Bukan rahasia lagi, perusahaan rokok termasuk pengiklan paling besar di negeri ini. Untuk iklan media saja, menurut data Nielsen Advertising Information Service, tahun lalu perusahaan rokok kretek membelanjakan Rp 1,386 triliun. Pada 2007 malah lebih besar, Rp 1,512 triliun, peringkat kedua tertinggi setelah iklan telekomunikasi.
Belum lagi promosi nonmedia, seperti menjadi sponsor di berbagai pergelaran seni dan olahraga. ”Ratarata perusahaan rokok besar mengeluarkan lebih dari Rp 500 miliar per tahun,” kata Ismanu. Sekarang saja, biaya promosi beberapa perusahaan sudah lebih dari batas maksimal yang ditetapkan peraturan itu. PT HM Sampoerna Tbk., misalnya. Menurut Manager External Communication Elvira Lianita, pada kuartal pertama 2009 mereka telah membelanjakan sekitar Rp 200 miliar untuk promosi. ”Telah kami sampaikan dalam laporan keuangan yang diserahkan kepada Bapepam,” kata Elvira.
Ketika mengumumkan hal ini pada Jumat dua pekan lalu, Direktur Penyuluhan dan Humas Departemen Keuangan Djoko Slamet Surjoputro mengatakan, pemerintah menilai surat edaran Dirjen Pajak pada 1990 itu sangat longgar. Karena itulah peraturan baru dibuat. Tujuannya agar ada kepastian soal pengeluaran yang bisa dibebankan ke pos biaya dan yang tidak. Selain itu, kata Djoko, pemerintah ingin membangun iklim kompetisi yang lebih sehat antara perusahaan rokok kecil dan besar.
Namun pengusaha rokok menganggap alasan pemerintah yang sebenarnya adalah membatasi iklan rokok. Ini pula yang menurut mereka melatarbelakangi kenaikan cukai rokok 67 persen tahun ini. Ketika itu Dirjen Bea dan Cukai Anwar Suprijadi mengakui, beban cukai tembakau sengaja dinaikkan untuk menekan produksi rokok menjadi hanya sekitar 240 miliar batang, berkurang 7 miliar batang dari tahun lalu. Selain itu, tentu saja, meningkatkan penerimaan cukai dari Rp 47,49 triliun menjadi Rp 49,49 triliun tahun ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah memang mendapat tekanan dari banyak pihak, terutama Komisi Nasional Perlindungan Anak dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, agar membatasi ”gerak” perusahaan rokok. Sebagai satusatunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi konvensi pengaturan tembakau demi kesehatan atau Framework Convention on Tobacco Control, dikhawatirkan Indonesia akan menjadi sasaran empuk perusahaan rokok. Konvensi yang telah diratifikasi 165 negara ini, misalnya, menegaskan bahwa seluruh bentuk promosi, iklan, dan sponsorship rokok harus dilarang karena meningkatkan jumlah perokok. ”Perusahaan yang terdesak di Eropa dan negara lain sekarang mulai lari ke Indonesia kan?” kata Seto Mulyadi, Ketua Komisi Perlindungan Anak.
Riset yang dilakukan Komisi Anak, menurut Kak Seto, menemukan sekitar 31 persen remaja mulai merokok pada usia 15 tahun. Setengah dari mereka terpengaruh iklan. Maka, meski mengapresiasi langkah pemerintah, Komisi Anak tetap menuntut pelarangan total promosi rokok. ”Bayangkan, bahkan di film untuk anak, seperti King, rokok masuk juga,” kata Kak Seto.
Anggito Abimanyu membenarkan, kebijakan pajak rokok erat kaitannya dengan kepedulian terhadap kesehatan. ”Kita kan mesti mempertimbangkan aspek kesehatan untuk kepentingan anakanak kita,” kata Kepala Badan Fiskal Departemen Keuangan itu. Lagi pula, menurut dia, omzet perusahaan rokok sudah sangat besar. Jadi, wajar kalau pemerintah membatasi biaya promosi.
Berkaitan dengan ini, menurut Anggito, para penyelenggara acara (event organizer) dan organisasi olahraga sebaiknya mulai mengurangi ketergantungannya pada industri rokok. Perusahaan rokok selama ini menjadi sumber penting bagi banyak aktivitas seni dan olahraga yang membutuhkan dana besar. Dia yakin itu bisa dilakukan. ”Dulu basket dan biliar masih disponsori rokok, sekarang kan makin sedikit,” katanya.
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia saat ini punya dua lomba besar dengan biaya sepenuhnya dari perusahaan rokok: Liga oleh Djarum dan Copa dibiayai Sampoerna. Untuk Liga Super, misalnya, PSSI mendapat dukungan dana Rp 30 miliar dari PT Djarum.
Ketua Badan Liga Indonesia PSSI Andi Darussalam Tabusalla baru tahu soal aturan ini ketika dihubungi Tempo. Menurut dia, kalau terpaksa, PSSI pasti akan berusaha mencari sponsor yang lain. Toh, dia berharap, kalaupun ada pengurangan dana, itu tidak sampai mempengaruhi dukungan perusahaan rokok terhadap kegiatan bola kaki. ”Sepak bola itu biayanya besar. Tidak ada yang berani selain perusahaan rokok,” katanya.
Industri rokok juga pendukung utama pentas musik. Adrie Subono, promotor musik Java Musikindo, mengatakan setiap pertunjukan yang mereka gelar minimal 25 persen dananya datang dari perusahaan rokok. ”Kalau artis luar, cash moneynya lebih gede,” katanya.
Hal yang sama dialami Original Production. Enggan menyebut jumlah, Tommy Pratama, promotor Original, memastikan dukungan perusahaan rokok sangat besar. Kalau artisnya bagus, mereka malah sering mengajukan diri sebagai sponsor tunggal. ”Soalnya, orang rokok sering bilang, kalau promosi kurang, hasil mereka juga kurang,” kata Tommy.
Meski demikian, menurut Tommy, tidak ada masalah jika nanti perusahaan rokok berhenti menopang aktivitas mereka. Bisnis pertunjukan sudah mulai dilirik banyak perusahaan lain, dari perusahaan minuman, bank, telekomunikasi, hingga asuransi. ”Kedatangan Rihanna kemarin, misalnya, itu kan sponsornya Axis,” ujarnya.
Jumat malam pekan lalu, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok, menurut Ismanu, tengah membahas surat ”protes” yang akan mereka sampaikan kepada Menteri Keuangan. Mereka mempertanyakan dasar hukum aturan baru ini. ”Pajak harusnya berlaku umum, kenapa sekarang rokok dan farmasi diatur secara khusus,” ujar Ismanu.
Elvira menambahkan, perusahaannya mendukung seluruh keputusan pemerintah. Tapi, katanya, akan lebih baik jika semuanya diatur melalui sebuah undangundang yang komprehensif—termasuk menetapkan secara tegas batasan usia perokok dan melarang penjualan rokok kepada anakanak. Jika dilakukan, menurut dia, hal itu akan menjawab kekhawatiran masyarakat terhadap pengaruh rokok sekaligus menciptakan iklim usaha yang stabil bagi perusahaan rokok di Indonesia.
Philipus Parera, Munawwaroh, M. Taufiqurohman
Aturan Promosi Perusahaan Rokok*
Omzet | Biaya Promosi |
Kurang dari Rp 500 miliar | 3 persen dari omzet atau maksimal Rp 10 miliar |
Rp 500 miliar-Rp 5 triliun | 2 persen dari omzet atau maksimal Rp 30 miliar |
Di atas Rp 5 triliun | 1 persen dari omzet atau maksimal Rp 100 miliar |
*) Sesuai Pasal 3 ayat 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 104/PMK.03/2009 tentang Biaya Promosi dan Penjualan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo