Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia, Redma Gita Wirawasta mengatakan kini sudah ada tiga perusahaan di industrinya yang gulung tikar. Ia mengungkapkan keuangan perusahaan terus menipis lantaran kondisi pasar yang tak menentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kondisi di market-nya tidak ada perubahan. Makin lama kesulitannya makin bertambah," tutur Redma Gita dalam konferensi pers virtual pada Rabu, 16 November 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah permintaan pasar menurun, perusahaan terdesak untuk terus mengeluarkan biaya operasional seperti listrik, air, pajak, hingga upah karyawan. Saat ketiga perusahaan tersebut masih berupaya bertahan, Redma menuturkan terjadi pemotongan upah menjadi 50 hingga 70 persen.
Dia bercerita awalnya tiga perusahaan itu masih bisa bertahan dengan cara melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap beberapa karyawannya. Tetapi karena tak ada kepastian kapan situasi akan membaik, akhirnya perusahaan tersebut menghentikan seluruh produksi.
Sementara itu, ia berujar produksi di pabrik serat dan benang filamen yang masih bertahan pun terus menurun. Operasional pabrik yang sebelumnya sudah turun hingga 50 persen kini menjadi tinggal 30 persen. Namun masih ada juga yang beroperasi hingga 60 persen.
Redma mengaku tak bisa memprediksi bagaimana kondisi industri serat dan benang filamen ke depan. Pasalnya, sektor hulu dari industri tekstil ini amat bergantung pada pesanan dari perusahaan-perusahaan hilir seperti pabrik garmen, alas kaki, dan lainnya. Sementara perusahaan Indonesia di industri tersebut mayoritas berorientasi ekspor dan sedang kekurangan pesanan. Kondisi ekonomi dunia yang tak menentu membuat pasar ekspor menjadi gelap.
"Kita juga enggak tahu nih sampai kapan kondisinya. Sampai sekarang belum ada yang cerah, baik cerah di pasar ekspor yang kita tahu sangat bergantung pada kondisi ekonomi dunia, termasuk perang Rusia-Ukraina," kata Redma.
Untuk bergantung pada pasar domestik pun sulit, sebab menurutnya telah dikuasai oleh produk-produk impor. Kondisi itu membuat hasil produksi dalam negeri kalah saing lantaran harganya yang lebih tinggi ketimbang produk impor tersebut. Ditambah adanya impor baju bekas ilegal yang semakin marak di pasar lokal.
Ia mengungkapkan rekannya sesama pengusaha masih bertanya-tanya sampai kapan akan mengurangi produksi dan melakukan PHK. "Kapan harus menghidupkan mesin lagi dan memanggil pekerja- pekerja yang sudah kita rumahkan. Memang kondisi ini sangat berbeda," tuturnya.
Karena itu, Redma berharap pemerintah bisa mendorong tata niaga dengan baik, khususnya pada industri serat dan benang ini. Ia mengungkapkan insentif terbaik adalah pengelolaan pasar yang baik, sehingga produk dalam negeri bisa menguasai pasar di negaranya sendiri.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.