Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEGITU usai bertemu Presiden Soeharto di Istana Merdeka Sabtu
lalu, Direktur Utama Pertamina Piet Haryono segera diserbu para
wartawan. Dugaan mereka: Piet Haryono melapor para Presiden
tentang berakhirnya masa jabatannya.
Masa jabatan Piet memang akan berakhir akhir Maret ini. Namun
seperti dikatakan seorang pembantu dekatnya. "Di luar memang
banyak desas-desus. Tapi buktinya Pak Piet masih tetap di sini."
Memang beberapa bulan terakhir, menjelang habisnya masa jabatan
Piet Haryono, "pasaran desas-desus" tentang siapa yang bakal
menggantikannya makin ramai. Beberapa nama yang disebut-sebut
sebagai calon Dir-Ut Pertamina antara lain Letjen Hasnan Habib
yang saat ini menjabat Dubes di Bangkok, serta Mayjen Judo
Sumbono, Direktur Pembekalan Dalam Negeri Pertamina.
Namun spekulasi tentang pergantian Dir-Ut Pertamina tersebut
agaknya terlalu dini. Beberapa sumber menjelaskan, bukan
mustahil masa jabatan Piet Haryono akan diperpanjang --
setidaknya sampai Pemilu 1982.
Jadi apa yang dilaporkan Piet? Direktur Utama Pertamina yang
rambutnya semakin putih itu ternyata melaporkan tentang
penandatanganan kontrak penjualan LNG (gas alam dicairkan)
dengan Jepang. Persetujuan itu ditandatangani di Tokyo pekan
lalu meliputi 3,2 juta ton LNG/tahun dari sumur Badak,
Kalimantan Timur, untuk jangka 20 tahun. Piet juga melaporkan
tentang kesepakatan harga baru LNG, yakni US$ 5,87 per juta BTU
(British Thermal Unit), naik 38 sen dollar dari harga
sebelumnya.
Kontrak itu berarti Jepang tetap menjadi pembeli tunggal dari
seluruh produksi LNG Indonesia. Sebelum ini Jepang telah
mengimpor sekitar 9 juta ton LNG per tahun dari Indonesia, yang
berasal dari sumur Arun di Aceh dan Bontang di Kal-Tim. Sedang 4
pembeli baru yang menandatangani kontrak tersebut adalah Chubo
Electric Power Co, Kansai Electric Power Co, Osaka Gas Co dan
Toho Gas Co. Rencana pengapalan pertama pada permulaan 1983.
Demi Kepantasan
Pihak Jepang juga menyetujui untuk membiayai pembangunan
tambahan "pabrik gas alam cair tersebut di Badak, Kal-Tim, yang
ditaksir sekitar US$ 900 juta." Pembangunan itu, akan meliputi
tambahan dua train dari dua train yang sudah ada.
Menurut Piet, pembangunan itu berarti nanti pada 1983 lapangan
LNG di Indonesia akan mencapai sembilan train, dengan jumlah
produksi 13,5 juta ton/ tahun.
Di samping kontrak yang sudah ditandatangani itu, saat ini masih
diadakan perundingan dengan calon pembeli lain di Jepang untuk
menjual LNG yang berasal dari sumur Arun, Aceh. Saat ini pabrik
LNG Arun yang beroperasi sejak 1978 berkapasitas produksi 4,8
juta ton/tahun dengan 3 train.
LNG dari sumur Arun yang ditawarkan Indonesia ini sebetulnya
sudah dikontrak untuk dijual pada Pacific Indonesia LNG Co dari
Los Angeles (Pacindo), Amerika Serikat. Kontrak untuk pembelian
selama 20 tahun itu telah ditandatangani pada 1973 namun Pacindo
ternyata belum berhasil memperoleh persetujuan pemerintah AS
untuk membangun terminal LNG di Teluk Little Cojo, di Santa
Barbara, California. Banyak organisasi pecinta lingkungan hidup
setempat yang menentang pembangunan terminal tersebut, terutama
mengingat kawasan tersebut termasuk daerah yang setiap waktu
bisa dilanda gempa bumi.
Setelah 7 tahun berusaha tanpa hasil, akhirnya Pacindo akhir
1980 lalu melepaskan haknya "demi kepantasan" pada Pertamina.
"Pihak Indonesia trlah memberikan kesempatan pada kami selama 7
tahun. Mereka tidak seharusnya menanggung kerugian dengan terus
mengikat cadangan gas mereka untuk California, sedang Jepang dan
pembeli lain menginginkannya," kata W.B. Wood, Wakil Presiden
Pacindo pada The Asian Wallstreet Journal beberapa waktu lalu.
Pacindo selama 7 tahun telah menanam modal US$ 173 juta guna
memperoleh gas dari Indonesia dan Alaska. Namun investasi itu
tidak akan lenyap begitu saja. Pertamina telah menjanjikan
Pacindo LNG dari sumber lain -- mungkin sekali dari sumber di
Natuna -- bila kelak perusahaan itu berhasil memperoleh
persetujuan guna membangun terminal LNG di California.
Sumber gas di Laut Natuna diduga merupakan sumber gas alam yang
terbesar di dunia. Prospek LNG di Indonesia memang cerah.
Diperkirakan dalam 5 tahun mendatang separuh dari penghasilan
minyak kita (pada 1981 sebesar Rp 8,6 trilyun) akan berasal dari
LNG. Di samping Jepang dan AS, Indonesia juga mengincar Taiwan
dan Korea Selatan sebagai calon pembeli LNG. "Ini untuk
diversifikasi, supaya Indonesia tak hanya tergantung pada
pembeli tertentu," kata Piet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo