Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Akhirnya buat Jepang

Kontrak penjualan lng dengan jepang dari sumur badak, kal-tim meliputi 3,2 juta ton lng/th untuk jangka waktu 20 th. pecindo, a.s membatalkan kontrak pembelian lng dari sumur arun. (eb)

21 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU usai bertemu Presiden Soeharto di Istana Merdeka Sabtu lalu, Direktur Utama Pertamina Piet Haryono segera diserbu para wartawan. Dugaan mereka: Piet Haryono melapor para Presiden tentang berakhirnya masa jabatannya. Masa jabatan Piet memang akan berakhir akhir Maret ini. Namun seperti dikatakan seorang pembantu dekatnya. "Di luar memang banyak desas-desus. Tapi buktinya Pak Piet masih tetap di sini." Memang beberapa bulan terakhir, menjelang habisnya masa jabatan Piet Haryono, "pasaran desas-desus" tentang siapa yang bakal menggantikannya makin ramai. Beberapa nama yang disebut-sebut sebagai calon Dir-Ut Pertamina antara lain Letjen Hasnan Habib yang saat ini menjabat Dubes di Bangkok, serta Mayjen Judo Sumbono, Direktur Pembekalan Dalam Negeri Pertamina. Namun spekulasi tentang pergantian Dir-Ut Pertamina tersebut agaknya terlalu dini. Beberapa sumber menjelaskan, bukan mustahil masa jabatan Piet Haryono akan diperpanjang -- setidaknya sampai Pemilu 1982. Jadi apa yang dilaporkan Piet? Direktur Utama Pertamina yang rambutnya semakin putih itu ternyata melaporkan tentang penandatanganan kontrak penjualan LNG (gas alam dicairkan) dengan Jepang. Persetujuan itu ditandatangani di Tokyo pekan lalu meliputi 3,2 juta ton LNG/tahun dari sumur Badak, Kalimantan Timur, untuk jangka 20 tahun. Piet juga melaporkan tentang kesepakatan harga baru LNG, yakni US$ 5,87 per juta BTU (British Thermal Unit), naik 38 sen dollar dari harga sebelumnya. Kontrak itu berarti Jepang tetap menjadi pembeli tunggal dari seluruh produksi LNG Indonesia. Sebelum ini Jepang telah mengimpor sekitar 9 juta ton LNG per tahun dari Indonesia, yang berasal dari sumur Arun di Aceh dan Bontang di Kal-Tim. Sedang 4 pembeli baru yang menandatangani kontrak tersebut adalah Chubo Electric Power Co, Kansai Electric Power Co, Osaka Gas Co dan Toho Gas Co. Rencana pengapalan pertama pada permulaan 1983. Demi Kepantasan Pihak Jepang juga menyetujui untuk membiayai pembangunan tambahan "pabrik gas alam cair tersebut di Badak, Kal-Tim, yang ditaksir sekitar US$ 900 juta." Pembangunan itu, akan meliputi tambahan dua train dari dua train yang sudah ada. Menurut Piet, pembangunan itu berarti nanti pada 1983 lapangan LNG di Indonesia akan mencapai sembilan train, dengan jumlah produksi 13,5 juta ton/ tahun. Di samping kontrak yang sudah ditandatangani itu, saat ini masih diadakan perundingan dengan calon pembeli lain di Jepang untuk menjual LNG yang berasal dari sumur Arun, Aceh. Saat ini pabrik LNG Arun yang beroperasi sejak 1978 berkapasitas produksi 4,8 juta ton/tahun dengan 3 train. LNG dari sumur Arun yang ditawarkan Indonesia ini sebetulnya sudah dikontrak untuk dijual pada Pacific Indonesia LNG Co dari Los Angeles (Pacindo), Amerika Serikat. Kontrak untuk pembelian selama 20 tahun itu telah ditandatangani pada 1973 namun Pacindo ternyata belum berhasil memperoleh persetujuan pemerintah AS untuk membangun terminal LNG di Teluk Little Cojo, di Santa Barbara, California. Banyak organisasi pecinta lingkungan hidup setempat yang menentang pembangunan terminal tersebut, terutama mengingat kawasan tersebut termasuk daerah yang setiap waktu bisa dilanda gempa bumi. Setelah 7 tahun berusaha tanpa hasil, akhirnya Pacindo akhir 1980 lalu melepaskan haknya "demi kepantasan" pada Pertamina. "Pihak Indonesia trlah memberikan kesempatan pada kami selama 7 tahun. Mereka tidak seharusnya menanggung kerugian dengan terus mengikat cadangan gas mereka untuk California, sedang Jepang dan pembeli lain menginginkannya," kata W.B. Wood, Wakil Presiden Pacindo pada The Asian Wallstreet Journal beberapa waktu lalu. Pacindo selama 7 tahun telah menanam modal US$ 173 juta guna memperoleh gas dari Indonesia dan Alaska. Namun investasi itu tidak akan lenyap begitu saja. Pertamina telah menjanjikan Pacindo LNG dari sumber lain -- mungkin sekali dari sumber di Natuna -- bila kelak perusahaan itu berhasil memperoleh persetujuan guna membangun terminal LNG di California. Sumber gas di Laut Natuna diduga merupakan sumber gas alam yang terbesar di dunia. Prospek LNG di Indonesia memang cerah. Diperkirakan dalam 5 tahun mendatang separuh dari penghasilan minyak kita (pada 1981 sebesar Rp 8,6 trilyun) akan berasal dari LNG. Di samping Jepang dan AS, Indonesia juga mengincar Taiwan dan Korea Selatan sebagai calon pembeli LNG. "Ini untuk diversifikasi, supaya Indonesia tak hanya tergantung pada pembeli tertentu," kata Piet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus