Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah ekonom kompak berpendapat bahwa pemerintah Indonesia harus menempuh negosiasi ulang dalam menghadapi ancaman Amerika Serikat. Sebelumnya, Amerika resmi meminta Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization atau WTO menjatuhi sanksi sebesar US$ 350 juta atau setara Rp 5 triliun terhadap Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Perkuat kekuatan diplomasi," kata Bayu Krisnamurti, ekonom yang juga Mantan Wakil Menteri Perdagangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat ditemui selepas acara seminar nasional "Menelaah Model Konsumsi Pangan Indonesia Masa Depan" bersama Perhimpunan Ekonom Pertanian Indonesia di Jakarta, Rabu, 8 Agustus 2018.
Tak hanya diplomasi, Bayu juga meminta upaya ini dibarengi dengan penguatan pemahaman pada pasar internasional. Ini bertujuan agar Indonesia tidak ketergantungan yang tinggi pada satu pasar seperti Amerika. Kalaupun ingin memproteksi produk lokal dengan membatasi impor, Bayu meminta instrumen yang digunakan haruslah sesuai dengan ketentuan internasional yang jadi kesepakatan bersama.
Permintaan dari Amerika ini merupakan kelanjutan dari protes yang dilayangkan bersama Selandia Baru ihwal 18 hambatan non-tarif dari pemerintah Indonesia untuk sejumlah produk pertanian dan peternakan asal negara mereka. Beberapa produk impor tersebut yaitu diantaranya apel, anggur, kentang, bawang, bunga, jus, buah-buah kering, hewan ternak, ayam dan daging sapi.
Lantas, Amerika dan Selandia Baru mengadukan kebijakan Indonesia ini ke WTO. 23 Desember 2016, Indonesia harus menerima kekalahan di sidang tersebut. Memang ada upaya banding dari Kementerian Perdagangan, namun lagi-lagi kalah sehingga Kementerian Perdagangan dikabarkan telah melakukan sejumlah penyesuaian aturan demi menjalankan putusan WTO ini. Karena tak puas, makanya Amerika kembali mengadu ke WTO.
Selain Bayu, Guru Besar Ekonomi pPrtanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin, mengatakan pemerintah harus mencari solusi elegan atas tuntutan ini seperti jalur negosiasi. Indonesia dinilai bisa menggunakan instrumen lain seperti rokok kretek asal Indonesia yang juga diperlalukan diskriminatif oleh Indonesia. "Jadi harus main cerdas," tuturnya.
Lalu terakhir, ekonom asal Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi. Menurut Fithra, permintaan sanksi ini bisa saja gugur seandainya negosiasi dari Indonesia berhasil. "Saya rasa masih bisa, karena Amerika lebih suka membawa sejumlah kasus ke ranah bilateral," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 7 Agustus 2018.
Di tempat yang berbeda, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan ia telah bertemu dengan perwakilan Amerika Serikat pada Juli lalu. Tapi toh pemerintah Indonesia kembali bertekuk lutut di hadapan Amerika dengan kembali membuka keran impor produk Amerika. “Tidak ada pilihan, sebab kita adalah anggota WTO," ujarnya di Bandung, Rabu, 8 Agustus 2018 atau hanya selang 48 jam setelah WTO mengumumkan adanya permintaan sanksi dari Amerika.