Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengatakan telah melaksanakan reforma agraria seluas 14,5 juta hektare dalam 10 tahun terakhir. Angka tersebut diklaim sebagai capaian membahagiakan bagi reforma agraria di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Suyus Windayana, mengatakan target reforma agraria hanya sebesar 9 juta hektare. Namun, pencapaian tersebut banyak didapat dari legalisasi aset yang sebesar 12,56 juta hektare. "Memang paling banyak legalisasi aset itu sekitar 12,56 juta hektare yang dari redistribusi 1,86 juta hektare," ujarnya saat ditemui dalam acara Focus Group Discussion Pengembangan Reforma Agraria Badan Bank Tanah di Ballroom Mandarin Oriental, Jakarta Pusat, Kamis 24 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ke depannya, Kementerian ATR akan berdiskusi dengan Kementerian Kehutanan untuk membahas pelepasan kawasan hutan yang dapat dialokasikan bagi masyarakat. "Kebetulan Pak Raja Juli dari Wakil Menteri ATR/BPN jadi Menteri Kehutanan, bagaimana pelepasan-pelepasan kawasan hutan itu bisa kita realisasikan segera untuk didistribusikan pada masyarakat," katanya.
Sebelumnya, Koordinator Wilayah KPA Sulawesi Tengah, Doni Moidady, mengatakan kebijakan reforma agraria selama 10 tahun Jokowi keliru dan perlu dikoreksi. “Reforma hanya sebatas mensertifikasi tanah atau legalisasi aset dan tidak menyelesaikan ketimpangan penguasaan lahan,” ujarnya dalam pernyataan resmi yang dikirim kepada Tempo, Sabtu, 19 Oktober 2024.
Reforma agraria telah menjadi program prioritas selama dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi. Hal ini juga menjadi program prioritas kelima dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Di awal menjabat, Jokowi mematok target pemberian sertifikat tanah 9 juta hektare untuk warga dan kelompok tani.
Namun, menurut Doni, reforma seharusnya tidak hanya sebatas bagi-bagi sertifikat. Hal ini, menurut dia, telah beberapa kali disuarakan oleh warga subjek reforma agraria termasuk di Sulawesi Tenggara. Pada 14 Oktober lalu, Serikat Tani Sigi dan KPA Sulawesi Tenggara menggelar dialog bersama pemerintah daerah. Salah satu poin pembahasannya adalah terkait Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA).
LPRA, menurut dia, seharusnya implementasinya selaras dengan tujuan dan ketepatan objek serta subjek reforma agraria. Karena itu, KPA mengkritisi sekaligus mengoreksi pelaksanaan kebijakan yang dinilai sepihak dan tidak tepat sasaran, salah satunya Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). “Kebijakan ini masih bersifat top-down dan cenderung mengabaikan usulan dari masyarakat, bahkan sering terjadi ketidaksesuaian antara subjek dan objek di lokasi yang diusulkan,” ujar Doni.
Ilona Estherina berkontribusi dalam tulisan ini.
Pilihan editor: Buruh Desak Naikan UMP, Kemenaker Sebut Presiden akan Ambil Kebijakan Pro Kesejahteraan