Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pendapatan PLN dari pelanggan hanya bisa menutupi 75-85 persen biaya produksi listrik.
Subsidi listrik yang diterima PLN selama ini hanya cukup untuk menutupi biaya operasi.
Kenaikan tarif listrik tak dapat dihindari karena biaya pokok produksi listrik terus naik.
JAKARTA – Kenaikan tarif listrik untuk kelompok pelanggan rumah tangga berdaya 3.500 VA ke atas ibarat angin sepoi-sepoi bagi perusahaan setrum negara. Meski alasan utama kenaikan tarif adalah demi penghematan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, beban serta risiko keuangan yang ditanggung PT PLN (Persero) selama ini juga bakal sedikit berkurang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam konferensi pers pengumuman penyesuaian tarif listrik, Senin lalu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Ridha Mulyana, mengatakan kenaikan tarif listrik pada Juli mendatang akan menghemat APBN sebesar Rp 3,09 triliun. Jumlah itu setara dengan 4,7 persen dari total dana kompensasi yang harus dibayar pemerintah kepada PLN. "Penyesuaian listrik ini untuk berbagi beban," kata Ridha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak 2017, pemerintah memang belum pernah lagi menaikkan tarif listrik bagi semua golongan pelanggan. Akibatnya, dalam lima tahun terakhir, pemerintah harus menggelontorkan dana subsidi listrik sebesar Rp 243,3 triliun plus dana kompensasi untuk PLN sebesar Rp 94,17 triliun. Dana subsidi ini turut dinikmati konsumen yang termasuk golongan mampu.
Beban pemerintah semakin berat ketika biaya pokok produksi listrik (BPP) terus naik. Pembengkakan biaya produksi listrik terjadi akibat kenaikan harga minyak mentah dan batu bara, pelemahan nilai tukar rupiah, serta peningkatan inflasi.
Direktur Utama PT PLN (Persero), Darmawan Prasodjo, mengatakan setiap kenaikan harga minyak mentah Indonesia sebesar US$ 1 akan berdampak pada kenaikan biaya produksi listrik sebesar Rp 500 miliar. "Sehingga pada 2022, diproyeksikan pemerintah menyiapkan kompensasi sebesar Rp 65,9 triliun," kata dia, Senin lalu.
Penyesuaian tarif ini, menurut Darmawan, merupakan upaya pemerintah menyalurkan subsidi dan kompensasi sesuai dengan peruntukannya. "Penerapan dana kompensasi dikembalikan pada filosofi bantuan pemerintah, yaitu ditujukan bagi keluarga tidak mampu."
Kenaikan tarif listrik semakin tak dapat dihindari di masa depan. Sebab, PLN memproyeksikan BPP rata-rata pada periode 2025-2030 akan naik hingga Rp 1.637 per kWh. Adapun BPP rata-rata saat ini sebesar Rp 1.445 per kWh. Kenaikan BPP pada 2025 itu tak terlepas dari kebijakan pemerintah untuk meningkatkan bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen. Kebijakan ini juga diperkirakan meningkatkan biaya subsidi dan kompensasi rata-rata Rp 186 triliun per tahun.
Petugas PLN melakukan penyambungan kabel listrik di Makassa. Dok. Tempo/Fahmi Ali
PLN Kesulitan Melakukan Investasi
Sementara itu, dalam dua tahun terakhir, pendapatan PLN dari pelanggan hanya bisa menutupi 75-85 persen biaya produksi listrik. Sisa biaya yang tak bisa ditanggung PLN itulah yang dibayarkan pemerintah melalui subsidi dan kompensasi pada APBN.
Kewajiban pemerintah menanggung selisih biaya itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Pasal 66 aturan itu menyebutkan, jika BUMN diberi penugasan khusus oleh pemerintah, yang secara finansial tidak feasible, pemerintah harus memberikan kompensasi atas biaya yang dikeluarkan, termasuk margin yang diharapkan.
Seperti tercantum pada rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) periode 2021-2030, margin ini diperlukan PLN untuk menjamin laba dan meminimalkan berbagai risiko, termasuk biaya pembentuk BPP. Namun subsidi listrik yang diterima PLN selama ini hanya cukup untuk menutupi biaya operasi dan kurang memadai untuk menunjang investasi pengembangan sistem tenaga listrik.
Tahun lalu, PLN memang sempat mengajukan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 10 triliun. Direktur Utama PLN saat itu, Zulkifli Zaini, mengatakan pengajuan dana PMN itu akan digunakan untuk peningkatan ketersediaan infrastruktur kelistrikan, peningkatan kualitas distribusi, dan partisipasi dalam pengembangan kawasan wisata super-prioritas. PLN juga berencana menggunakan modal itu untuk pembiayaan proyek pembangkit listrik energi baru terbarukan.
Pada pertengahan 2021, Zulkifli memaparkan bahwa arus kas PLN tidak cukup membiayai investasi perseroan. Ia menyebutkan PLN punya pinjaman bank hampir Rp 500 triliun, tapi arus kas perseroan tidak cukup membiayai investasi yang mencapai Rp 100 triliun per tahun. "Laba (PLN) hanya Rp 5 triliun." Sewaktu itu, pemerintah akhirnya menyetujui pemberian PMN sebesar Rp 5 triliun untuk PLN.
Dalam RUPTL 2021-2030, PLN juga menyatakan penyesuaian tarif listrik perlu dilakukan demi meningkatkan kemampuan investasi dan mengurangi ketergantungan perseroan terhadap utang. Pada 2021, utang PLN tercatat mencapai Rp 631,6 triliun. Jumlah ini lebih kecil 2,7 persen dibanding pada tahun sebelumnya, yang mencapai Rp 649,1 triliun.
Utang PLN itu didominasi utang jangka panjang yang terdiri atas obligasi dan sukuk syariah sebesar Rp 187,7 triliun. Ada pula utang bank sebesar Rp 139 triliun serta utang imbalan kerja Rp 48,1 triliun. Adapun utang jangka pendek PLN terdiri atas utang usaha pihak ketiga sebesar Rp 27,3 triliun, utang bank Rp 26,8 triliun, utang pihak berelasi Rp 20,6 triliun, serta utang lainnya Rp 20,5 triliun.
Sejumlah risiko akibat tarif listrik yang tak kunjung naik juga tercantum dalam nota keuangan APBN 2022. Dalam dokumen tersebut, pemerintah menyatakan utang kompensasi pada BUMN merupakan salah satu risiko belanja negara yang perlu dikelola. Dengan demikian, utang tersebut tak memberatkan APBN di masa yang akan datang dan tidak membebani keuangan BUMN.
Dalam bagian risiko fiskal nota keuangan disebutkan beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi kemampuan PLN dalam memenuhi kewajiban kepada kreditor pada proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt (fast track program/FTP 1). Faktor risiko tersebut antara lain komitmen subsidi dari pemerintah, kebijakan tarif, fluktuasi nilai tukar, kenaikan harga BBM, dan kekurangan pasokan BBM.
Pada proyek tersebut, pemerintah memberikan jaminan penuh jika PLN tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditor proyek tepat waktu. Jika hal itu terjadi, Kementerian Keuangan harus segera melakukan pembayaran kepada kreditor dalam waktu 30-45 hari. Hal ini akan menjadi piutang pemerintah kepada PLN.
Traktor merapikan timbunan batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Indramayu PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), salah satu anak usaha PT PLN. Dok. TEMPO/Aditia Noviasnyah
Pemerintah Akan Membayar Utang kepada PLN
Ihwal piutang kompensasi pemerintah kepada PLN, Senin lalu, Darmawan mengatakan pemerintah akan membayar kompensasi kepada perseroan senilai Rp 41 triliun. Pembayaran itu ditujukan untuk kompensasi tahun ini dan tahun lalu. "Dialokasikan sekitar Rp 41 triliun dan insya Allah dibayar tahun ini," ujar dia.
Berdasarkan pembahasan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Badan Anggaran DPR, kata Darmawan, sebelumnya diputuskan bahwa ada penambahan kompensasi yang totalnya sekitar Rp 54 triliun. Nilai tersebut merupakan akumulasi kompensasi dari tahun lalu dan tahun ini. Adapun kompensasi yang harus dibayar pemerintah pada 2021 sebesar Rp 24,6 triliun.
Darmawan mengimbuhkan, pembayaran kompensasi itu adalah dukungan agar inflasi dan daya beli masyarakat dapat dijaga. "Dukungan pemerintah all out agar PLN bisa melaksanakan tugas tersebut dengan baik."
Anggota Dewan Energi Nasional, Satya Widya Yudha, mengatakan pihaknya mendukung langkah pemerintah menaikkan tarif untuk lima golongan serta mempertahankan tarif pada beberapa golongan, termasuk kelompok bisnis dan industri. Pasalnya, ia menuturkan, saat ini Indonesia baru saja melonggarkan diri dari jerat pandemi dan masih dibayang-bayangi ancaman varian baru Covid-19. Karena itu, ada potensi bahwa kondisi ekonomi yang saat ini sedikit membaik bakal melambat lagi.
"Kami berharap pemerintah tetap menjaga yang kelompok bersubsidi 450-900 VA. Satu-satunya jalan membantu keuangan negara adalah menaikkan tarif golongan 3.500-5.500 VA dan 6.600 VA ke atas. Walau kita tahu bahwa kenaikan tarif listrik itu masih belum berkontribusi signifikan," ujar Satya.
PRAGA UTAMA | CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo