Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Berkaca pada Kerja Sama Kereta Cepat, Indonesia Perlu Kurangi Ketergantungan Ekonomi pada Cina

Indonesia perlu mengurangi ketergantungan ekonomi pada Cina. Berkaca pada kerja sama pembangunan kereta cepat.

3 Agustus 2023 | 09.37 WIB

Presiden Joko Widodo dan Ibu Iriana bertemu dengan Presiden Xi Jinping dan Madam Peng Liyuan jelang jamuan santap siang bersama di Hotel Jinniu, Chengdu, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Jumat, 28 Juli 2023. Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden
Perbesar
Presiden Joko Widodo dan Ibu Iriana bertemu dengan Presiden Xi Jinping dan Madam Peng Liyuan jelang jamuan santap siang bersama di Hotel Jinniu, Chengdu, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Jumat, 28 Juli 2023. Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom sekaligus pengamat kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengatakan pemerintah mesti mengurangi ketergantungan ekonomi pada Cina. Hal ini seiring ditekennya sejumlah kesepakatan kerja sama oleh keduanya dalam pertemuan bilateral Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan Presiden Cina Xi Jinping pada Jumat, 27 Juli 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

"Indonesia harus berupaya lebih aktif dalam mendiversifikasi mitra dagang dan investasinya. Memperkuat kerja sama dengan negara-negara lain akan memberikan fleksibilitas dan ketahanan ekonomi yang lebih besar," kata Achmad melalui keterangan tertulis kepada Tempo, Kamis, 3 Agustus 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Achmad mengatakan hal tersebut karena menurutnya, kerja sama Indonesia-Cina bisa merugikan Indonesia. Hal ini jika pemerintah Indonesia tidak selektif dalam  pembuatan kesepakatan yang dituangkan dalam dokumen kerja sama. 

Achmad berkaca pada sejumlah kerja sama yang pernah dijalankan  Indonesia-Cina. Salah satunya, dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Dia berujar, dalam proyek tersebut ada ketidaksesuaian kesepakatan awal yang semula tidak melibatkan anggaran pendapatan belanja negara (APBN), tapi kenyataannya malah melibatkan APBN. "Akhirnya kan China menuntut jaminan Penanaman Modal Nasional (PMN) melalui APBN," tutur Achmad.

Hal yang tidak kalah penting, kata Achmad, adalah soal transfer pengetahuan dan teknologi yang terjadi dalam kerja sama Indonesia-Cina. Dia menilai selama ini ada keterlibatan berlebihan tenaga kerja asing (TKA) Cina dalam prosess pembagunannya. Artinya, menurut dia, Indonesia tidak mendapat manfaat penuh dalam hal penyerapan tenaga kerja.

Potensi kerugian lainnya, Achmad melanjutkan, terlihat dalam proyek tambang nikel. Meskipun Indonesia terlibat dalam ekspor nikel ke Cina, kata dia, porsi keuntungan yang diterima Indonesia sangat kecil.

"Selain itu, diskriminasi upah antara tenaga kerja lokal dengan TKA Cina juga menyebabkan ketidakadilan di pasar tenaga kerja Indonesia," kata Achmad.

Oleh karena itu, Achmad melanjutkan, pemerintah harus lebih hati-hati dalam bernegosiasi dan mengawasi kesepakatan proyek kerja sama dengan Cina. Pemerintah harus bisa memastikan adanya transfer pengetahuan dan teknologi, serta keterlibatan tenaga kerja lokal. 

"Pastikan dokumen perjanjian kerjasama yang dibuat, dipelajari dan dikuasai baik-baik dengan memastikan terjaminnya kepentingan negara," ujar Achmad.

Selain itu, dalam perjanjian perdagangan, Indonesia harus bersikeras pada kesepakatan yang lebih adil dan menguntungkan. "Pengaturan upah yang lebih merata antara tenaga kerja lokal dan TKA Cina juga harus diutamakan untuk menghindari diskriminasi dan ketidakadilan," katanya.




close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus