Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Calon presiden Megawati Soekarnoputri berjanji akan menghentikan utang luar negeri karena hanya jadi beban bangsa. Pernyataan itu disampaikannya dalam debat calon presiden yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum, Kamis malam pekan lalu. Mestinya, dengan kekayaan alam yang berlimpah, Indonesia harus berhenti berutang. Bahkan, dengan berlimpahnya sumber daya alam tersebut, katanya, ”Indonesia akan mampu membayar seluruh utang luar negeri.”
Bukan kali ini saja Megawati dan pasangannya, Prabowo Subianto, berbicara tentang utang. Dalam beberapa kali kesempatan kampanye, pasangan itu selalu mendengung-dengungkan kemandirian, sekaligus mengkritik kebijakan pengelolaan utang pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelum keduanya membentuk koalisi, soal utang juga jadi salah satu tema kampanye Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerindra. Satu dari delapan program aksi Prabowo adalah penjadwalan kembali utang luar negeri.
Beban utang luar negeri Indonesia saat ini memang cukup besar. Posisi per Maret 2009, total utang pemerintah mencapai Rp 1.700 triliun, terdiri atas utang luar negeri Rp 732 triliun dan surat berharga negara Rp 968 triliun. Jumlah itu naik dibanding tahun lalu yang Rp 1.636 triliun. Utang Indonesia juga meningkat tajam dibanding posisi 2004 ketika Yudhoyono naik menjadi presiden. Ketika itu utang pemerintah baru Rp 1.299 triliun. Dalam lima tahun ini, ada tambahan Rp 401 triliun atau naik hampir 31 persen.
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto menjelaskan bahwa tambahan utang selama lima tahun terakhir berasal dari penerbitan surat berharga negara. Pada 2004 utang dalam negeri baru Rp 662 triliun, tapi pada 2009 sudah mencapai Rp 968 triliun. Sebaliknya, utang luar negeri dalam dolar justru turun dari US$ 68,6 miliar menjadi US$ 63,2 miliar. ”Dalam rupiah memang terkesan naik karena nilai tukar rupiah melemah baik terhadap dolar maupun yen,” katanya.
Rahmat menambahkan, dilihat dari rasio utang terhadap produk domestik bruto juga terlihat adanya penurunan tajam. Lima tahun yang lalu utang Indonesia masih 57 persen, kini sudah turun menjadi hanya 32 persen. Selain itu, komposisi pinjaman luar negeri terhadap total utang sudah berubah banyak. Pada 2004 utang luar negeri Indonesia masih 49 persen dari total pinjaman, kini proporsinya tinggal 43 persen. ”Utang kita naik, tapi produk domestik kita juga makin besar,” kata Rahmat.
Penurunan utang luar negeri ini, kata Rahmat, terjadi setelah pemerintah mulai 2004 menetapkan kebijakan anggaran negatif. Artinya, pembayaran utang luar negeri selalu lebih besar dibanding penarikan utang baru. Tahun ini, misalnya, penarikan utang baru direncanakan hanya Rp 57,6 triliun, sebaliknya pembayaran cicilan pokoknya mencapai Rp 72,1 triliun. Inilah salah satu penyebab utang luar negeri Indonesia cenderung turun dalam lima tahun terakhir.
Rahmat mengatakan, hingga kini pemerintah masih membutuhkan utang luar negeri untuk menutup defisit anggaran, sebagian untuk pinjaman proyek. Tentu saja, katanya, ada prasyarat yang harus dipenuhi, antara lain tidak boleh ada agenda politik di balik pinjaman tersebut, biayanya murah, risikonya minimal, serta jangka waktunya (tenor) panjang. ”Sekarang juga tidak seperti dulu, banyak pinjaman yang tidak ada commitment fee atau upfront fee-nya,” katanya. Kalaupun ada, jumlahnya kecil, berkisar 0,15-0,25 persen.
Dalam kondisi krisis, defisit anggaran memang melonjak. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009, misalnya, defisit hanya dianggarkan Rp 51,3 triliun (1 persen dari PDB). Tapi, setelah faktor stimulus fiskal dimasukkan, defisitnya membengkak menjadi Rp 139,5 triliun (2,5 persen). Ekonom Raden Pardede mengatakan, untuk menghadapi krisis, pemerintah mengambil kebijakan yang sifatnya counter-cyclical. Wujudnya adalah pengucuran stimulus, dan bukannya malah berhemat.
Ekonom Bank Danamon, Anton Gunawan, memberikan tamsil soal utang ini. Ibarat pengantin muda yang kondisi keuangannya masih cekak, utang memang diperlukan untuk membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga, termasuk rumah dan mobil. ”Yang penting, dia punya kemampuan membayar utang,” katanya. Yang penting, ada sustainabilitasnya sehingga tidak akan memberatkan di masa depan. ”Begitu juga negara. Pola berpikirnya tidak jauh berbeda.”
Anton juga mengingatkan soal pentingnya pemanfaatan utang yang tepat, sehingga meningkatkan ukuran-ukuran kesejahteraan atau pendapatan. Dan itu biasanya tecermin dalam produksi, atau biasa dikenal sebagai produk domestik bruto. ”Seperti juga perusahaan, makin kaya dia, biasanya makin besar pula utangnya,” kata Anton. Sepanjang kemampuan membayar utang meningkat, ujarnya, ”Kita tak perlu alergi terhadap utang.”
Tapi ekonom Iman Sugema tetap melihat utang sebagai beban. Ia tetap menyoroti persyaratan utang luar negeri yang selalu merepotkan Indonesia. Iman mencontohkan terbitnya Undang-Undang Investasi dan Undang-Undang Migas. Dia menilai, kedua undang-undang itu jelas menunjukkan betapa pemerintah Indonesia tak bisa berbuat banyak demi mendapatkan pinjaman luar negeri. ”Di mana letak kedaulatan dalam kebijakan ekonomi kita,” katanya.
Lebih dari itu, ia juga sangsi terhadap efektivitas utang tersebut dalam menggerakkan ekonomi domestik. Hasil studi Bappenas, Iman mengutip, menunjukkan bahwa 85 persen utang luar negeri yang berasal dari Jepang kembali ke negeri para samurai itu. Wujudnya bisa bermacam-macam, antara lain jasa konsultasi atau pembelian barang yang sebetulnya bisa dipasok dari dalam negeri. ”Hanya Bank Pembangunan Asia yang kecil, sekitar 12,5 persen,” kata pengajar Institut Pertanian Bogor ini.
Iman juga meminta pemerintah meminta pemotongan utang kepada Bank Dunia sebesar 30 persen. Ia mengutip hasil kajian Bank Dunia sendiri bahwa utang mereka ke Indonesia bocor 30 persen. Sinyalemen yang sama pernah dilontarkan ekonom senior (almarhum) Sumitro Djojohadikusumo. ”Mestinya, pemerintah ngotot untuk mendapatkan haircut dari Bank Dunia atas utang najis ini,” katanya. Ia kembali menyebut Filipina, yang bisa mendapatkan potongan atas utang di zaman Ferdinand Marcos.
Tapi, kata Rahmat, permintaan haircut harus dipertimbangkan masak-masak karena risikonya tidak kecil. Permintaan itu biasanya memicu reaksi pasar, antara lain dalam bentuk penurunan credit rating. Itu yang terjadi ketika Indonesia mengajukan penjadwalan kembali kepada Paris Club (2000) dan London Club (2002). Rating Indonesia—S&P’s—ketika itu langsung terjun bebas ke Selective Default. Begitu rating turun, biaya dana (cost of funds) juga naik. Ujung-ujungnya, jika Indonesia hendak menerbitkan surat utang, biayanya jadi lebih mahal. ”Untuk memulihkan kembali, butuh waktu lama. Baru 2004 kita kembali ke level B,” katanya.
Karena itu, kata Rahmat, pemerintah lebih memilih mengurangi utang secara bertahap. Jika program penarikan negatif berhasil, utang luar negeri yang jatuh tempo akan turun sampai di bawah Rp 50 triliun pada 2016, dari posisi saat ini sekitar Rp 64 triliun. Selain itu, pengurangan utang dilakukan melalui debt swap (pertukaran utang dengan program lingkungan dan pendidikan), antara lain dengan pemerintah Jerman dan Italia. Dengan begitu, Indonesia bisa terhindar dari jebakan utang.
Rahmat juga menjamin pengelolaan utang Indonesia sudah transparan. Ia menunjuk hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan untuk laporan keuangan pemerintah pada 2008. Untuk item pengelolaan utang, laporan itu mendapat opini wajar tanpa pengecualian. Indonesia juga mendapat kado dari Moody’s, rating outlook Indonesia naik dari stabil menjadi positif. Artinya, Indonesia dinilai punya prospek yang lebih baik ketimbang negara tetangga.
M. Taufiqurohman, Retno Sulistyowati
Jumlah Utang Pemerintah (triliun rupiah) | ||
Tahun | Surat berharga pemerintah | Pinjaman luar negeri |
1997 | - | 238 |
1998 | 100 | 453 |
1999 | 502 | 438 |
2000 | 652 | 583 |
2001 | 661 | 613 |
2002 | 655 | 570 |
2003 | 649 | 583 |
2004 | 662 | 637 |
2005 | 693 | 620 |
2006 | 743 | 559 |
2007* | 803 | 586 |
2008* | 906 | 730 |
2009** | 968 | 732 |
*Angka sementara | ||
**Angka sementara per Maret 2009 | ||
Sumber: departemen Keuangan dan BPS, diolah |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo