Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

19 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Revisi RUU Pajak Ditolak

PANITIA Khusus Rancangan Undang-Undang Pajak DPR RI menolak membahas revisi rancangan undang-undang perpajakan yang diajukan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada awal bulan ini. Alasannya, Menteri Keuangan telah menyalahi prosedur ketatanegaraan, dengan berusaha membatalkan draf terdahulu yang sudah dikirimkan Presiden Yudhoyono ke DPR. ”Kan aneh kalau surat Presiden dibatalkan oleh Menteri Keuangan,” kata Ketua Panitia Khusus Max Moein, Kamis pekan lalu.

Rancangan awal dikirim Presiden berdasarkan surat Nomor R-67/Pres/8/2005 tanggal 31 Agustus 2005. Draf itulah yang hendak dicabut dan diganti dengan yang baru oleh Sri Mulyani melalui suratnya pada 31 Mei lalu. ”Jadi kami tak perlu membahas revisi itu,” kata Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Dradjad H. Wibowo.

Max menambahkan, pencabutan rancangan baru kali ini terjadi. ”Pemerintah minta cepat, tapi mereka sendiri yang memperlambat,” katanya. Akibatnya, bisa dipastikan penyelesaian pembahasan soal ini baru akan selesai pada akhir 2007, molor dari rencana semula yakni awal tahun depan. Menteri Keuangan beralasan pencabutan itu dilakukan karena draf awal ditolak oleh pengusaha Kadin (Kamar Dagang dan Industri).

300 Perda Hambat Investasi

Pemerintah pusat mendesak pemerintah daerah supaya menghapus peraturan yang menghambat pertumbuhan investasi dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi. ”Peraturan daerah yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi sebaiknya dicabut,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Boediono di Jakarta, Senin pekan lalu.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia M.S. Hidayat mengatakan, ada lebih dari 300 peraturan daerah yang menghambat iklim investasi. Peraturan itu antara lain pungutan pajak terhadap arus barang dan pungutan kepada pengusaha dalam dan luar negeri.

Akibatnya, menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, rasio investasi terhadap produk domestik bruto jauh tertinggal ketimbang negara-negara tetangga. ”Negara lain pertumbuhannya lebih dari 30 persen,” katanya. ”Cina, India, Taiwan, dan Thailand rasionya 40–50 persen.”

Rasio investasi nasional terhadap produk domestik bruto 2005 baru 23 persen atau naik lima persen dibanding lima tahun lalu. Namun, rasio investasi itu masih lebih rendah dibanding sebelum krisis, yakni 30 persen.

Reorganisasi Departemen Keuangan

Pembenahan struktur Departemen Keuangan terus dilakukan. Salah satunya dengan menambah dua unit eselon satu, yaitu Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Daerah dan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang dan Risiko. ”Pelaksanaannya dipastikan selesai tahun ini,” kata Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan, J.B. Kristiadi, Senin pekan lalu, seusai bertemu Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI.

Dua lembaga lain di Departemen Keuangan yang disempurnakan. Pertama Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara yang diubah menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Tugasnya menginventarisasi seluruh kekayaan negara yang makin besar nilainya, sekaligus mengelolanya agar efisien.

Adapun Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerja Sama Internasional (Bapeki) diubah menjadi Badan Kebijakan Fiskal (BKF). ”Tidak seperti dulu yang hanya menganalisis, sekarang akan lebih banyak menggodok pembuatan kebijakan,” ujar Kristiadi.

Mereka akan menjadi tulang punggung Menteri Keuangan dalam hal pemikiran mengenai kebijakan tentang keuangan secara total, termasuk mengenai penerimaan dan pengeluaran. ”Dalam APBN yang masih berjalan, pengelolaannya tetap pada Dirjen Anggaran. Yang diurus BKF ialah kebijakan tarif, fasilitas perpajakan, cukai dan kepabeanan,” kata Ketua Bapeki, Anggito Abimanyu.

Penerimaan Gas Tangguh Naik

Pemerintah akan memperoleh pendapatan tambahan sebesar US$ 2,2 miliar (sekitar Rp 20,9 triliun) dari bagi hasil penjualan gas Lapangan Tangguh, Papua, ke Fujian, Cina. Angka ini membuat Indonesia diperkirakan bisa memperoleh Rp 58,9 triliun selama 20 tahun

Kardaya Warnika, Kepala Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) mengatakan, tambahan penerimaan disebabkan oleh revisi batas atas harga minyak (ceiling price) dari US$ 25 per barel menjadi US$ 38 per barel. Perubahan harga batas atas itu membuat harga jual gas ke Fujian naik dari US$ 2,6 per mile mile British thermal unit (mmBtu) menjadi US$ 3,5 per mmBtu.

Dalam kontrak yang diteken pada 2002, harga jual gas Tangguh disepakati US$ 2,4 per mmBtu bila harga minyak dunia di bawah US$ 25 per barel. Harga jual gas naik jadi US$ 2,6 per mmBtu bila harga minyak di atas US$ 25 per barel.

Lapangan gas Tangguh di Papua dikelola kontraktor BP Indonesia. Perusahaan minyak dan gas asal Inggris ini menguasai partisipasi modal sebesar 37,16 persen. Sisanya dikuasai CNOOC 16,99 persen, MI Berau BV 16,3 persen, Nippon Oil Exploration Ltd. 12,23 persen, KG Berau/KG Wiriagar 10 persen, dan LNG Japan Corporation 7,35 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus