Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Cerita Pemilik Jamur Borobudur: Dibangun 2013, Kini Omzetnya Rp 140 Juta per Bulan

Setiap hari, karyawannya itu mengolah jamur menjadi keripik saja sebanyak 40 kilogram sehari.

3 September 2023 | 17.33 WIB

Pemilik Jamur Borobudur Puput Setyoko, 30 tahun, di tempat budidaya jamur miliknya yang berada di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pada Rabu, 30 Agustus 2023. TEMPO/ Moh Khory Alfarizi
Perbesar
Pemilik Jamur Borobudur Puput Setyoko, 30 tahun, di tempat budidaya jamur miliknya yang berada di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pada Rabu, 30 Agustus 2023. TEMPO/ Moh Khory Alfarizi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Magelang - Puput Setyoko, 30 tahun, menceritakan perkembangan bisnisnya Jamur Borobudur yang didirikannya pada tahun 2013. Jamur Borobudur merupakan tempat budidaya jamur lingzhi, tiram, dan kuping di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yang diolah menjadi berbagai bentuk makanan dan minuman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Di awal, pada 2013, tempatnya itu hanya berupa budidaya jamur saja. Kemudian pada 2016 berkembangan dan memiliki tempat pengolahan jamurnya. Berlanjut dua tahun kemudian, saat Candi Borobudur menjadi tempat wisata super prioritas, usahanya mulai didukung pemerintah melalui pelatihan dari sisi pendekatan wisata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UMKM—usaha mikro kecil menengah—ini akhirnya jadi tempat kunjungan wisata. Tapi jadi tempat produksi yang dikunjungi belum kita siapkan pendopo seperti sekarang ini mulai 2018 sampai sekarang,” ujar dia di Jamur Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pada Rabu, 30 Agustus 2023.

Saat ini Puput memiliki 17 orang karyawan yang berasal dari masyarakat sekitar wilayah Candi Borobudur. Setiap hari, karyawannya itu mengolah jamur menjadi keripik saja sebanyak 40 kilogram sehari. Selain itu, Jamur Borobudur itu juga memproduksi media tanam atau baglog untuk budidaya jamur sebanyak 300-400 buah.

Untuk keripik, Puput berujar, biasanya dijual ke dua pasar yakni di tempatnya yang sudah dikemas menarik, dan pasar luar yang dijual tanpa mereka Jamur Borobudur. Sedangkan baglog, bisanya pihaknya memiliki kemitraan tersendiri. Misalnya ada yang tertarik budidaya jamur kemudian ditawarkan baglog, lalu nantinya hasil panennya bisa dibeli Jamur Borobudur.

“Nanti pasarnya gimana, jadi kita siapkan pasarnya kita tarik ke sini lagi,” tutur Puput. “Adapun untuk luar negeri, secara perusahaan kami belum sih, tapi perorangan ada yang pesan terus dikirim itu pernah.”

Jamur yang dibuat keripik itu berasal dari jamur kuping. Sementara jamur tiram kerap ditemukan di pasar hingga restoran. Di tempat Puput, jamur tersebut diolah menjadi berbagai macam makanan seperti sambal, rendang jamur, bakso jamur, sate jamur, dan berbagai macam produk lainnya.

Untuk jamur lingzhi, biasanya diolah untuk menjadi obat. Di dunia farmasi, kata dia, jamur yang ditemukan di Cina pada 2.000 tahun lalu itu kerap ditumbuk dan dibuat kapsul. Dulu, jamur itu untuk mengobati para bangsawan, karena susah didapatkan. Namun, sekarang hanya membutuhkan waktu sekitar 6 bulan tumbuh, paling lama. Puput mengolahnya menjadi minuman seduh layaknya teh.

“Semua total omzet itu ya naik turun namanya usaha, mungkin sekitar Rp 100-140 juta. Tapi profitnya sekitar 30-an persen,” ucap Puput.

M. Khory Alfarizi

Alumnus Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Bergabung di Tempo pada 2018 setelah mengikuti Kursus Jurnalis Intensif di Tempo Institute. Meliput berbagai isu, mulai dari teknologi, sains, olahraga, politik hingga ekonomi. Kini fokus pada isu hukum dan kriminalitas.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus