Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Swasta Berjaya Pemerintah Merana

Investor meninggalkan obligasi pemerintah karena kebijakan ekonomi makro yang tidak hati-hati. Pemerintah menghadapi risiko besar akibat subsidi.

4 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dana investor asing keluar dari obligasi pemerintah.

  • Investor asing melepas obligasi pemerintah senilai Rp 100,64 triliun.

  • Dampak subsidi pada kesehatan anggaran akan sangat buruk.

PERGESERAN dana besar-besaran sedang terjadi di pasar finansial Indonesia. Magnitudonya luar biasa sehingga mulai mengubah lanskap pasar keuangan kita secara cukup signifikan. Dana investor asing makin deras mengalir keluar dari obligasi pemerintah. Sebaliknya, pasar saham justru kebanjiran dana asing yang melimpah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak awal tahun hingga pada penutupan pasar, Jumat, 3 Juni lalu, aliran dana asing senilai Rp 69,22 triliun masuk lewat pembelian bersih berbagai saham. Sebaliknya, dalam kurun waktu yang sama, dana asing yang berbondong-bondong keluar meninggalkan obligasi pemerintah mencapai Rp 100,64 triliun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada banyak faktor penyebab migrasi itu. Salah satunya kenaikan bunga The Federal Reserve, yang mendorong investor mengubah alokasi investasi demi mencari imbal hasil yang lebih tinggi. Investor tentu juga harus mencari wahana investasi berisiko lebih rendah karena suasana sedang kalut. Ancaman resesi yang kian menghantui ekonomi dunia tentu menjadi pertimbangan utama investor dalam memilih aset finansial sebagai target investasi.

Dalam situasi sulit inilah saham-saham perusahaan di Indonesia dapat menjadi alternatif tempat berinvestasi yang relatif lebih baik ketimbang obligasi pemerintah. Banyak korporasi Indonesia mendapatkan rezeki nomplok karena tingginya harga berbagai komoditas ekspor. Surplus neraca perdagangan karena lonjakan pendapatan ekspor itu merembes pula ke berbagai penjuru bisnis.

Bukan hanya perusahaan di sektor pertambangan atau perkebunan yang menikmati surplus super-gendut itu. Manfaatnya mengalir sampai jauh, ke berbagai usaha, baik yang langsung berkaitan maupun yang hanya terkena imbas tak langsung dari menggeliatnya ekonomi. Sentimen positif inilah yang menyokong harga saham di bursa Indonesia tetap bertahan tinggi meski di berbagai negara, terutama negara-negara maju, harga saham sedang berjatuhan. Sejak awal tahun, indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia sudah naik 9,14 persen.

Di sisi lain, nasib pemerintah sungguh jauh berbeda dibanding swasta. Pemerintah memang mendapat manfaat dari naiknya penerimaan perpajakan ataupun royalti karena lonjakan harga komoditas. Tapi, sayangnya, pemerintah malah memilih menyia-nyiakan peluang baik itu dengan mengambil kebijakan yang hanya menambah beban berat bagi keuangan pemerintah.

Misalnya subsidi energi yang melonjak hingga Rp 502,4 triliun tahun ini saja. Saking takutnya menghadapi ancaman inflasi jika harga energi naik, pemerintah berjudi dengan menjadi bumper kenaikan harga minyak dunia melalui subsidi yang sangat membebani anggaran negara.

Kini pemerintah menghadapi risiko yang makin besar karena harga minyak dunia terus meroket sejalan dengan keputusan negara-negara Uni Eropa mengembargo minyak Rusia. Asumsi harga minyak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022 sebesar US$ 63 per barel sudah jauh terlampaui. Harga rata-rata minyak mentah Indonesia, yang seharusnya menjadi patokan penghitungan anggaran ataupun subsidi, sudah mencapai US$ 109,61 per barel. Besar kemungkinan harga minyak juga akan terus melonjak. Di pasar internasional, harga minyak Brent bahkan sudah bertengger di level US$ 119 akhir pekan ini.

Jika situasi tak berubah, subsidi Rp 502,4 triliun itu pun tetap tak akan mampu menahan harga bahan bakar minyak tidak naik. Walhasil, kendati pemerintah sudah menghamburkan uang begitu besar, tetap saja janji Presiden Joko Widodo tak akan terpenuhi. APBN bisa makin kehilangan kredibilitas.

Itulah sebenarnya sinyal dari investor kepada pemerintah. Mereka meninggalkan obligasi pemerintah RI karena tak melihat lagi kebijakan ekonomi makro yang berbasis pada akal sehat dan kehati-hatian. Memang, mempertahankan harga BBM merupakan kebijakan populer. Secara politis, ini pilihan pragmatis yang menguntungkan politikus yang tengah berkuasa. Namun dampak kebijakan itu pada kesehatan keuangan pemerintah sungguh buruk. Dan investor di pasar finansial sebetulnya sudah memberikan isyarat. Kredibilitas anggaran negara makin terancam. Sejauh ini, sinyal itu diabaikan begitu saja.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus