Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia mengkritisi Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City yang bakal digarap pemerintah di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi Indonesia Satrio Manggala membeberkan sejumlah dampak lingkungan yang berpotensi terjadi.
Sebelumnya, pengembangan Rempang Eco City diluncurkan di Kemenko Perekonomian pada 12 April 2023. PT Makmur Elok Graha (MEG) menjadi pengembang dengan nilai investasi sekitar Rp 381 triliun hingga 2080 mendatang.
Pada tahap pertama investasi MEG menggandeng investor Cina, Xinyi Group, yang bakal membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa atau silika. Xinyi Goup bakal berinvestasi US$ 11,6 miliar atau sekitar Rp 175 triliun untuk membangun pabrik kaca dan solar panel.
Dalam analisisnya, Satrio mengatakan jika tersebut beroperasi, maka ada jutaan liter air yang digunakan setiap hari. "Ini akan berkaitan dengan kondisi geografis Pulau Rempang yang merupakan pulau kecil, rentan kalau penggunaan air berlebihan," ujar Satrio dalam diskusi Konnflik Agraria Rempang dan Penggusuran Skala Nasional yang digelar virtual pada Selasa, 19 September 2023.
Kedua, soal pembuangan limbah cair dan zat berhaya. Apalagi, menurut dia, ada catatan pencemaran limbah cair dalam operasi Xinyi di Kanada. Ia pun khawatir hal itu bisa mengancam Pulau Rempang. "Beberapa komponen limbah itu dikhawatirkan merusak kehidupan aquatik di sungai atau laut," tuturnya.
Ketiga, soal kebutuhan pasok energi yang besar. Jika pada akhirnya Xinyi mennggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, maka sama saja tidak ramah lingkungan. Padahal, Xinyi akan memproduksi solar panel.
"Dalam ruang lingkup yang sangat dekat dengan masyarakat, abu dari cerobong asap pabrik yang memproduksi kaca ataupun PLTU, sangat dekat dengan permukiman warga," kata Satrio.
Keempat, soal ancaman degradasi lingkungan karena potensi eksploitasi pasir sebagai bahan baku dasar produksi. Apalagi kawasan Kepulauan Riau, menurut Satrio, terkenal dengan produksi pasirnya. Hal itu pun akan menjadi opsi bagi Xinyi Group.
"Mereka merasa tidak perlu ambil material itu dari tempat jauh. Akhirnya pilih Rempang sebagai opsi menguntungkan," ujar dia.
Terakhir, soal ancaman limbah padat dan berbahaya lainnya. Satrio menyoroti tawaran pemerintah soal relokasi warga terdampak yang tetap akan di Pulau Rempang. "Justru ini sangat mengkhawatirkan ketika permukiman berdekatan dengan operasi industri itu," kata Satrio.
Satrio pun khawatir proyek seperti Rempang Eco City makin banyak dilakukan. Apalagi dengan embel-embel ramah lingkungan dengan narasi green, eco, proyek transisi energi, dan narasi lain yang serupa.
Pilihan Editor: Buntut Konflik Pulau Rempang, Pemerintah Diminta Buat Peta Kebijakan Investasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini