Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau Aprindo Roy Nicolas Mandey menolak permintaan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, untuk menurunkan margin atau selisih keuntungan dari penjualan beras. Ia mengungkit permasalahan rafaksi minyak goreng yang belum dibayarkan pemerintah ke pengusaha ritel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Karena rafaksi belum dibayar, kalau minta yang ulang-ulang (pengusaha memberi subsidi dulu) kayak kasus minyak goreng kemarin kita enggak mau. Bayar dulu dong rafaksi," kata Roy dalam keterangannya saat ditemui di Food Station Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, pada Senin, 12 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sebagai informasi, pada 2022, pemerintah memberlakukan kebijakan minyak goreng satu harga. Saat itu, harga minyak goreng tinggi, sehingga pemerintah meminta pengusaha ritel untuk menyubsidi selisih harganya. Pemerintah berjanji akan membayarkan selisih harga yang ditanggung pengusaha, namun hingga kini pengusaha ritel tak kunjung menerima Rp 344 miliar yang menjadi hak mereka.
Roy juga memastikan pengusaha ritel tidak akan mungkin melakukan jual rugi. Apalagi, saat ini pasokan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan atau SPHP belum kembali normal. Sementara harga beras dari swasta juga mengalami kenaikan harga. "Di ritel harga naik itu tidak mungkin jual rugi, jual murah boleh tapi jual rugi jangan," kata dia.
Adapun Kepala Bapanas meminta pengusaha ritel untuk menurunkan margin atau selisih keuntungan dari penjualan agar harga beras tidak jauh dari HET yang ditetapkan.
"Nanti Pak Roy (Ketua Aprindo) saya minta 1-2 bulan ini marginnya juga diturunkan untuk Merah Putih. Ya kita sama-sama, jadi teman-teman ini kan semua ada margin, marginnya kurangin tapi enggak rugi ya boleh kan," ujar Arief.
Sementara itu, Arief juga menyebut pihaknya tidak akan mengubah harga eceran tertinggi atau HET beras dalam waktu dekat. Menurut Arief, jika HET diubah, sementara stok beras kurang karena produksi lokal masih minim, maka akan membuat masalah lain yang lebih ribet. Arief mengklaim perubahan HET tidak tepat jika dilakukan saat ini karena produksi lokal masih rendah. Panen diperkirkan baru terjadi pada Maret 2024.
"Kalau sekarang enggak tepat. Kondisinya seperti ini (produksi lokal minim) tapi banyak impornya," kata dia.
Ia menyebut HET adalah harga riil yang mencerminkan biaya produksi, bukan harga pasar. Karena itu, alih-alih berfokus pada HET, Bapanas akan lebih berfokus meningkatkan produksi beras dalam negeri.