Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bekas Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo menilai SIN (Single Identity Number) Pajak mampu mencegah korupsi. "SIN Pajak sendiri memberikan solusi tentang transparansi dalam upaya pencegahan korupsi," ujar dia dalam keterangan tertulis, Rabu, 21 April 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika dilihat dalam konteks kasus korupsi, kata Hadi, uang atau harta baik dari sumber yang legal maupun ilegal selalu digunakan dalam tiga sektor, yaitu konsumsi, investasi, dan tabungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam konsep SIN Pajak, Hadi mengatakan tiga sektor tersebut wajib memberikan data dan terhubung secara sistem dengan sistem perpajakan. "Artinya uang dari sumber yang legal maupun ilegal tersebut dapat terekam secara sempurna dalam sistem perpajakan," ujarnya.
Seperti diketahui, setiap tahunnya Wajib Pajak akan menghitung pajak dan mengirimkan SPT ke Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. DJP melalui konsep link and match selanjutnya akan dapat memetakan data yang benar dan data yang tidak benar, serta data yang tidak dilaporkan dalam SPT.
Dengan demikian, Hadi menyakini tidak ada harta yang dapat disembunyikan oleh Wajib Pajak atau WP. Selain itu, dalam penanganan kasus korupsi dikenal pembuktian terbalik, sehingga WP yang melaporkan SPT secara tidak benar akan diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa hartanya diperoleh secara legal. "Hal tersebut akan membuat WP akan berpikir ulang untuk melakukan sebuah perolehan harta secara ilegal," tutur Hadi.
Konsep SIN Pajak, kata Hadi, sebenarnya dimulai pada 31 Desember 1965 ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Perpu 2/1965 mengenai peniadaan rahasia bagi aparat pajak. namun, tahun 1983 melalui UU 6/1983 terjadi reformasi perpajakan dengan pemberlakuan Self Assessment System yang memberikan kewenangan wajib pajak untuk menghitung sendiri mengenai penghasilannya dalam SPT.
"Yang kemudian terjadi adalah, Wajib Pajak merasa mendapatkan kesempatan untuk melakukan manipulasi SPT karena DJP tidak memiliki data pembanding atas SPT tersebut. Sehingga perlu adanya sebuah alat untuk memonitor self assessment system tersebut, menjadi monitored self assessment system," ujar Hadi.
Pada 17 Juli 2007, tuturnya, DPR mengesahkan UU 28/2007 yang di dalamnya, yaitu pada Pasal 35A, diatur mengenai SIN Pajak. Beleid itu menyebutkan bahwa setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DJP.
Era tersebut, menurut Hadi, memberi kewajiban semua pihak baik pemerintah pusat/daerah, lembaga, swasta dan pihak-pihak lain wajib untuk saling membuka dan menyambung sistem ke pajak yang non rahasia baik yang finansial/non finansial ke DJP. Meskipun, masih adanya beberapa hambatan terkait masih diperbolehkannya rahasia pada UU lain, seperti UU mengenai perbankan.
Presiden Joko Widodo kemudian mengeluarkan Perpu 1/2017 yang mengatur secara khusus akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dalam rangka memenuhi komitmen AEOI. Perpu tersebut kemudian pada 8 Mei 2017 disahkan lembaga legislatif melalui UU 9/2017. UU ini secara legal formal menggugurkan ketentuan kerahasiaan dalam beberapa UU, antara lain UU tentang perbankan.
"Sehingga semua pihak baik pemerintah pusat/daerah, lembaga, swasta dan pihak-pihak lain, wajib untuk membuka dan terhubung ke dalam sistem perpajakan, baik data yang bersifat rahasia maupun non rahasia dan data finansial maupun non finansial," ujar Hadi.
Meskipun secara de jure SIN Pajak ini telah memiliki landasan yang kuat, namun secara de facto SIN Pajak ini belum dapat terlaksana. Sejumlah kendala membangun SIN antara lain KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplikasi) terkait dengan data kurang berfungsi, ketentuan UU yang belum lurus terkait dengan akses DJP terhadap transaksi keuangan.
Inkonsistensi regulasi, ujar dia, menjadi salah satu penyebabnya, dalam peraturan pelaksanaannya yang diatur dalam peraturan pemerintah, yang diturunkan kembali dalam peraturan menteri serta surat edaran.
Ia mengatakan aturan-aturan tersebut secara jelas membuat pengaturan yang melampaui peraturan yang di atasnya, antara lain adanya subdelegasi aturan yang tidak sesuai kaidah, pembatasan penggunaan dan pembatasan nilai. Akibatnya tujuan dan sasaran dari UU yang mengaturnya tidak dapat terlaksana dengan baik, begitu pula pemberlakuan Single Identitiy Number pajak tersebut.