Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETUA Badan Pemeriksa Keuangan Rizal Djalil dan anggota BPK, Agus Joko Pramono,meninggalkan sidang rutin, Rabu dua pekan lalu. Dua pejabat teras kantor auditor negara itu meluncur menuju gedung Mahkamah Agung di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. Mereka bertemu dengan Ketua MA Hatta Ali.
"Siang, sekitar pukul 13.00," kata seorang pejabat BPK yang mengetahui kejadian tersebut kepada Tempo. Pejabat BPK itu yakin, pertemuan tersebut tidak terkait dengan urusan pengawasan atas pengelolaan keuangan di MA. "Mana pernah ketua (Rizal Djalil) turun tangan," ujarnya.
Kunjungan itu sempat menjadi pergunjingan di antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan di lingkungan BPK sendiri. Pertemuan ketiga pejabat negara tersebut diyakini membuahkan "fatwa kilat" Mahkamah, yang diperlukan dalam proses pemilihan anggota BPK.
Dengan fatwa MA itu, Eddy Mulyadi Soepardi akhirnya sukses melenggang menjadi anggota BPK. Eddy adalah Deputi Bidang Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), juga komisaris PT Pertamina, yang mencalonkan diri sebagai anggota BPK. Ia bersama dua politikus DPR-Harry Azhar Azis dan Achsanul Qosasi-serta dua calon inkumben, Rizal Djalil dan Moermahadi Soerja Djanegara, lolos sebagai anggota BPK. Mereka terpilih dalam voting di Komisi Keuangan DPR, 15 September lalu.
Sial, rapat paripurna DPR pada 23 September menunda pengesahan Eddy. Beberapa anggota Dewan menilai dia tak boleh mengikuti proses seleksi anggota BPK. Sebab, berdasarkan Undang-Undang BPK, seorang calon harus meninggalkan jabatan di lingkungan pengelola keuangan negara minimal dua tahun. Akhirnya DPR memutuskan meminta fatwa ke MA.
Hasilnya memuluskan langkah Eddy. Mahkamah berpendapat, Eddy memenuhi persyaratan sebagai calon anggota BPK. Alasannya, kedeputian di BPKP bukan merupakan kuasa pengguna anggaran. Demikian pula posisi Eddy sebagai komisaris Pertamina dinilai tidak terkait dengan wewenang mengelola keuangan negara. Fatwa tertanggal 25 September itu ditulis dalam dua lembar kertas, berisi empat poin, dan diteken oleh Hatta Ali.
Pembuatan fatwa tersebut tergolong supercepat. Pimpinan DPR mengirimkan surat permintaan fatwa pada Rabu, 24 September. Keesokan harinya Mahkamah memberikan jawaban. Aneh, tak banyak yang tahu-termasuk Eddy-bahwa fatwa sudah dibacakan dalam paripurna lanjutan, Jumat, 26 September. Saat itu rapat dipimpin Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso. "Saya belum tahu pasti. Kita tunggu saja. Secara resmi tidak ada pemberitahuan kepada saya," kata Eddy, Rabu pekan lalu.
"DRAMA" serupa pernah terjadi pada 2009. Saat itu yang mencalonkan diri adalah Kepala Perwakilan BPK Jawa Barat Gunawan Sidauruk dan Sekretaris Jenderal BPK Dharma Bakti. Uji kelayakan dan kepatutan di DPR sukses dilalui, berujung pada pemungutan suara. Batu ganjalan justru muncul di rapat paripurna. Sejumlah anggota Dewan menyoal posisi mereka yang masih berada di lingkungan pengelola keuangan negara. Maka rapat meminta fatwa ke MA.
Berbeda dengan Eddy, saat itu fatwa MA tak mampu menyelamatkan keduanya. "MA menyatakan posisi saya tidak menimbulkan conflict of interest. Tapi pemilihan dan penetapan anggota BPK diserahkan ke DPR," kata Gunawan. Faktanya, DPR memutuskan mencoret mereka. Penggantinya dua anggota DPR, Ali Masykur Musa (Partai Kebangkitan Bangsa) dan Tengku Muhammad Nurlif (Partai Golkar). "Dulu (fatwa) tidak dikunci, sekarang dikunci," ujarnya.
Dalam kasus Eddy, menurut sejumlah pejabat yang mengetahui persoalan ini, beberapa petinggi turun tangan. Rizal diduga berperan mendorong fatwa kilat tersebut. Telah lama Eddy memang disebut-sebut sebagai satu dari beberapa orang yang didorong Rizal menjadi anggota BPK. Beberapa orang di kalangan internal BPK mengatakan Rizal berkepentingan membawa "gerbong" untuk mempertahankan posisinya sebagai ketua.
Rizal dikabarkan juga mengusung dua nama lain, yakni Direktur Transformasi Proses Bisnis Direktorat Jenderal Pajak Wahyu Tumakaka dan anggota BPK, Moermahadi Soerja Djanegara. Moermahadi sukses, sedangkan Wahyu tak lolos pemilihan.
Beberapa pejabat di BPK mengatakan keberadaan Eddy di BPK bisa menguntungkan sejumlah pihak. Sebab, ia memiliki kedekatan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. "Banyak anak buahnya di BPKP menjadi penyidik KPK." Sebelumnya, Rizal mengangkat orang yang dekat dengan lingkungan KPK sebagai tenaga ahli, yakni mantan Deputi Bidang Penindakan KPK Ade Rahardja.
BPK tak memberi konfirmasi apa pun. "Bapak sedang naik haji," ucap seorang staf humas, meneruskan pesan dari Sekretaris Ketua BPK. Wakil Ketua BPK Hasan Bisri juga menolak mengomentari fatwa MA itu. "Ke ketua saja," katanya singkat. Rizal sempat membantah kabar bahwa dia mendorong beberapa orang masuk BPK. "Membawa diri sendiri saja susah, bagaimana mau membawa orang lain?" ujarnya April lalu.
HATTA Ali membenarkan kabar pertemuannya dengan Rizal pada akhir September lalu. Tapi ia membantah membicarakan soal fatwa. "Memang kami (bertemu) karena hubungan kerja pengawasan. Bukan dalam rangka itu (fatwa)," katanya setelah melantik anggota DPR baru di gedung DPR, Jakarta, Rabu pekan lalu. Ia menjelaskan penerbitan fatwa harus kilat karena Dewan meminta jawaban cepat. "Diminta cepat karena harus segera melakukan pemilihan Ketua BPK dan harus segera dilantik. Kami harus bagaimana? Diminta sesama lembaga negara, masak enggak dipenuhi."
Hatta menambahkan bahwa lembaganya mengeluarkan fatwa berdasarkan data yang ada. Seorang pejabat menyebut data yang dimaksud adalah surat Ketua BPKP yang menjelaskan bahwa Eddy clear, bukan pejabat pengelola anggaran. "Mereka hanya disodori surat itu," katanya.
Kabar lain muncul. Beberapa hakim ketua Mahkamah disebut-sebut tak mengetahui soal fatwa itu. Sebab, tak ada rapat yang membahas masalah itu. Sayang, hakim ketua Gayus Lumbuun menolak menjelaskan. "Maaf, saya tidak bisa memberikan informasi. Silakan ke humas MA," katanya. Hakim ketua Artidjo Alkostar juga tak menjawab. Juru bicara MA, Ridwan Mansyur, mengatakan fatwa bisa saja dibahas oleh satu-dua orang ketua menurut bidang permohonannya. "Ini kayaknya perundang-undangan. Biasanya dibahas wakil bidang yudisial," ujarnya.
Anggota Dewan dari Fraksi PKB, Anna Muawanah, berpendapat bahwa fatwa itu memang terkesan kilat. "Tanpa bermaksud mencampuri fatwa MA, tapi ini lebih dari Gunawan Sidauruk dan Dharma Bakti," ujarnya. Sebab, Eddy juga tercatat sebagai komisaris Pertamina dan belum dua tahun melepas jabatan komisaris di Angkasa Pura.
Berdasarkan Undang-Undang Perseroan, komisaris bertanggung jawab terhadap kinerja dan keuangan perusahaan. Karena itu, dia mempertanyakan bagaimana jika BPK menemukan penyimpangan di Pertamina. "Apakah sebagai anggota BPK, Eddy bisa melepaskan diri dari konflik kepentingan?"
Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Refly Harun, sependapat. Posisi Eddy sebagai komisaris di Pertamina seharusnya dikategorikan sebagai pejabat pengelola keuangan negara. "Uang BUMN uang negara."
Dengan selamatnya Eddy, pupus sudah cita-cita Nur Yasin menjadi anggota BPK. Politikus PKB ini sempat berharap "drama" 2009 berulang. Dalam voting di Komisi Keuangan, Nur Yasin berada di peringkat keenam. Jika Eddy batal disahkan, ia berpeluang naik menggantikannya. "Percuma saya meneruskan," katanya. "Dulu tembok rapuh, sekarang kuat."
Martha Thertina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo