Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

IDEAS: Jumlah Orang Miskin RI Diprediksi Melonjak Jadi 29,3 Juta di 2022

Lembaga riset IDEAS memproyeksikan tingkat kemiskinan pada 2022 melonjak menjadi 10,81 persen atau setara 29,3 juta orang miskin.

3 Desember 2021 | 19.47 WIB

Suasana pemukiman warga di bantaran kali di Kawasan Manggarai, Jakarta, Senin, 7 Juni 2021. Pendataan fakir miskin dan orang tidak mampu itu dilakukan secara online lewat sistem Pusat Data dan Informasi Jaminan Sosial (Pusdatin Jamsos) Dinas Sosial DKI mulai Senin, 7 Juni 2021. TEMPO/Muhammad Hidayat
Perbesar
Suasana pemukiman warga di bantaran kali di Kawasan Manggarai, Jakarta, Senin, 7 Juni 2021. Pendataan fakir miskin dan orang tidak mampu itu dilakukan secara online lewat sistem Pusat Data dan Informasi Jaminan Sosial (Pusdatin Jamsos) Dinas Sosial DKI mulai Senin, 7 Juni 2021. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta -Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memproyeksikan dengan skenario pesimis, tingkat kemiskinan pada 2022 melonjak menjadi 10,81 persen atau setara 29,3 juta orang miskin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Hal tersebut dipicu dari melemahnya anggaran perlindungan sosial (perlinsos) yang membuat semakin banyak penduduk miskin yang tidak terlindungi secara ekonomi, padahal beban krisis dan pandemi belum berakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Ketika beban krisis membuncah dan pandemi belum menunjukkan tanda-tanda berakhir, alokasi anggaran perlinsos justru semakin menurun,” kata Askar Muhammad, Peneliti IDEAS bidang Ekonomi Makro dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 3 Desember 2021.

Askar menambahkan bahwa pada 2020 realisasi anggaran PEN perlindungan sosial mencapai Rp 216,6 triliun dan pada APBN 2021 alokasinya turun menjadi Rp 184,5 triliun. Terkini, pada RAPBN 2022 anggaran Perlinsos hanya direncanakan Rp 153,7 triliun.

“Perlindungan sosial (perlinsos) berperan penting dalam menopang keluarga miskin yang terdampak keras oleh pandemi,” ujar Askar.

Askar mengatakan pemerintah terlihat berupaya keras memulihkan perekonomian seiring berakhirnya gelombang ke-2 yang berpuncak pada Juli 2021 yang lalu. Pembukaan hampir seluruh aktivitas sosial-ekonomi, termasuk sekolah dan event olahraga, diharapkan akan kembali mendorong konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.

Namun arah pemulihan ke depan, selain diliputi ketidakpastian tinggi, juga diyakini berpotensi tidak inklusif. “Pemulihan pasca pandemi akan ideal ketika semua sektor tumbuh dengan kecepatan yang sama, sehingga manfaat pertumbuhan akan dirasakan secara merata,” tutur Askar.

Dia mengungkapkan pada periode 2014-2020, pertumbuhan pengeluaran per kapita antar kelas ekonomi terlihat merata, menandakan manfaat pertumbuhan yang dinikmati semua.

“Namun, pola tersebut berubah drastis pada masa pandemi, Maret – September 2020, dimana beban kejatuhan ekonomi tidak ditanggung merata, lebih banyak ditanggung oleh kelas menengah,” kata Askar.

Menurutnya, selama pandemi kelas menengah mengalami kejatuhan pengeluaran per kapita paling dalam seiring kejatuhan sektor formal-modern.“Pemulihan ekonomi pasca pandemi secara ironis memiliki tendensi menciptakan kesenjangan yang semakin lebar yaitu si kaya semakin kaya, si miskin semakin miskin,” ungkap Askar.

Pola pemulihan yang umum dikenal dengan K-shape ini, menurut dia, terjadi karena pemulihan didominasi sektor tertentu yang hanya menguntungkan kelas atas. Dengan K-shape recovery, Ideas memproyeksikan pertumbuhan pengeluaran per kapita ke depan akan lebih didominasi kelas menengah-atas, sedangkan kelas menengah-bawah hanya akan tumbuh moderat – rendah.

Askar menambahkan, Implikasi dari semua itu adalah penanggulangan kemiskinan pasca pandemi akan berjalan lebih lambat. Lebih jauh, menurutnya pemulihan K-shape berpotensi melemahkan potensi pertumbuhan di masa depan seiring meningkatnya kesenjangan.

Secara umum, kelas atas memiliki rasio tabungan terhadap pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan kelas bawah. “Ketika pendapatan kelas atas meningkat, rasio tabungan mereka ikut melonjak. Seiring kenaikan pendapatan, rasio konsumsi kelas atas justru menurun. Di sisi lain, kelas menengah-bawah semakin tergerus rasio tabungannya untuk bertahan hidup,” tutur Askar.

Sejak pandemi, terlihat pola yang konsisten, rasio tabungan kelas atas meningkat tajam dan rasio tabungan kelas bawah semakin terpuruk. Pangsa simpanan masyarakat di perbankan dengan tier nominal lebih dari Rp 5 miliar meningkat dari 46,2 persen pada Desember 2019 menjadi 50,7 persen pada September 2021.

Pada saat yang sama, pangsa simpanan dengan tier nominal kurang dari Rp 100 juta menurun dari 14,5 persen menjadi 13,0 persen.“Secara keseluruhan, kecenderungan menabung yang semakin tinggi oleh si kaya ini akan membuat konsumsi agregat menurun sehingga melemahkan pertumbuhan dan pemulihan ekonomi (paradox of thrift),” ujar dia.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus