Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI pinggir ungai Musi diperoleh berita bahwa PT Palembang
Rice Estate (PRE), anak perusahaan Pertamina, masih bekerja
mengeringkan rawa dan sedang menanti panennya yang kedua. Tapi
tempo kerjanya sudah diperlamt-at scjak Pertamina dilanda krisis
keuangan tahun 1975. Sesudah hampir 4 tahun, proyek ini baru
saja selesai mematangkan tanah seluas 1500 hektar yang tadinya
rawa dan belukar. Di antaranya terdapat satu blok (400 ha) yang
sudah ditanami padi dan kedelai, sedang tambahan 400 ha lagi
diharap bisa ditanami tahun ini.
Mengingat lebih kurang 45 juta ha tanah rawa di Indonesia yang
masih dimimpikan untuk menjadi sawah, proyek PRE itu belum
seberapa. Tapi faktanya ialah Pertamina sudah memulainya. PT
Caltex Pacific Indonesia pada tahun 1974 juga merencanakan suatu
rice estate atau perkebunan padi di Riau. Ternyata sampai kini
pelusahaan minyak Amerika itu masih belum diketahui kapan akan
melaksanakan rencananya.
Ketika Letjen Ibnu Sutowo masih menjabat Dir-Vt Pertamina,
proyek PRE itu merupakan prioritasnya. Bahwa daerah pinggir
Sungai Musi dipilihnya, tentu ada banyak pertimbangan. Namun
daerah Musi, kata orang, kebetulan mengisi satu sudut lembut di
hatinya.
Tahun 1981, dengan tempo sekarang ini, PT PRE diharapkan akan
lebih meluaskan areal pertaniannya menjadi 5000 ha yang
memungkinkan orang bertanam padi dua kali setahun, tanpa
kuatir akan musim kering. Ini adalah proyek padat modal dengan
rencana invostasi US$ 30 juta. Secara komersill, investasi ini
tidak menarik. Dir-Ut Pertamina Piet Harjono, jika ditanya,
pasti akan malu menyebut betapa tingginya biaya produksi beras
tiap ton di pinggir Musi itu. Jika mau lebih murah, ya impor
saja seperti yang dilakukan Bulog untuk memperoleh 2,4 juta
ton dalam tahun 1977/78. Namun investasi proyek PRE, menurut Ir
Surachmadi pemimpin lapangannya seperti dikutip oleh Anatau,
"akan kembali dalam delapan tahun."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo