Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Impor LPG Terus Naik, Asosiasi Perusahan Migas Tawarkan 2 Alternatif

Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas mencatat konsumsi Liquified Petroleum Gas (LPG) di masyarakat terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

22 Oktober 2021 | 13.08 WIB

21_ekbis_LPGimpor
Perbesar
21_ekbis_LPGimpor

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) mencatat konsumsi Liquified Petroleum Gas (LPG) di masyarakat terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Di sisi lain, produksi lokal tidak meningkat sehingga kebutuhan LPG masih banyak dipenuhi dari impor.

"Ini perlu alternatif, terus terang saja," kata Direktur Eksekutif Aspermigas, Moshe Rizal Husin, dalam diskusi Tempo Energy Day pada Jumat, 22 Oktober 2021.

Sebelumnya, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan volume impor LPG masih akan naik pada 2021, baik bersubsidi maupun nonsubsidi. Jumlah itu naik dibandingkan tahun lalu yang sebesar 6,2 juta metrik ton.

"Kami menghitung berapa produksi dari kilang atau LPG dalam negeri yang sudah kami hitung, ada sedikit peningkatan. Sehingga rencananya di 2021 impor LPG 7,2 juta metrik ton," kata Nicke Widyawati dalam rapat dengan Komisi Energi DPR, Selasa, 9 Februari 2021.

Angka 7,2 juta metrik ton ini juga tertinggi sejak empat tahun terakhir. Pada 2018, Pertamina mengimpor LPG sebanyak 5,5 juta metrik ton. Sedangkan pada 2019, Pertamina mengimpor 5,8 juta metrik ton.

Impor ini masih akan terus berlanjut hingga empat tahun ke depan. Lantaran, Pertamina baru berencana menyetop total impor LPG pada 2027.

Untuk menghadapi lonjakan impor ini, Moshe menyebut pemerintah bisa menempuh dua alternatif. Pertama, memperluas penggunaan kompor listrik. Sebenarnya, kata dia, pemerintah sudah menggalakkan penggunaan kompor listrik untuk rumah tangga.

Moshe menilai rencana itu sudah cukup bagus, tapi butuh tindakan lebih dari sekedar menggalakkan. Pemerintah, kata dia, bisa menawarkan insentif dan subsidi. Tujuannya agar biaya yang dikeluarkan masyarakat menggunakan kompor listrik bisa lebih rendah atau sama dengan LPG.

Alternatif kedua yaitu menerapkan teknologi terbaru dari Amerika Serikat yaitu Adsorbed Natural Gas (ANG). Sejauh ini, kata dia, gas alam di tanah air baru dimanfaatkan dalam bentuk LPG maupun Compressed Natural Gas (CNG).

Moshe menyebut ANG bisa jadi pilihan karena proses distribusinya ke sektor retail seperti restoran dan hotel jauh lebih mudah. Kadar resikonya pun lebih rendah ketimbang produk seperti CNG karena punya tekanan di dalam tabung yang lebih rendah, tapi kapasitas penyimpanan dua kali lipat.

Menurut Moshe, alternatif ini bisa dilakukan mengingat Indonesia memiliki gas alam yang berlimpah. "Jadi ini perlu digalakkan untuk substitusi LPG," kata dia.

Baca juga: Sampai 10 Tahun ke Depan, Eksplorasi Migas Butuh USD 6 Miliar

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus