Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mempertanyakan rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang menyarankan pemberian bea masuk anti dumping (BMAD) bagi produk keramik porselen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment INDEF Andry Satrio menilai kebijakan ini akan berdampak terhadap konsumen dan industri secara keseluruhan. "Kami melihat ada ketidakseimbangan antara tujuan melindungi produsen dalam negeri dan kepentingan konsumen. Dengan pemberian BMAD, harga produk porselen di pasar domestik dapat meningkat secara signifikan, yang pada akhirnya akan memberatkan konsumen," kata Andry melalui keterangan tertulis, Jumat, 12 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana penerapan BMAD karena anggapan kebutuhan dalam negeri belum mampu dipenuhi oleh produsen domestik dan akan berdampak pada harga jual yang ditanggung konsumen.
Daripada menerapkan BMAD, Adry mengatakan, produsen dalam negeri harus meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi. Dia menilai langkah tersebut akan berdampak lebih panjang bagi industri keramik di Indonesia.
"Daripada menerapkan BMAD, sebaiknya pemerintah fokus pada upaya peningkatan daya saing produsen dalam negeri melalui berbagai program dan insentif," kata Andry.
Menurut Andry, penerapan BMAD untuk produk keramik porselen berpotensi memicu praktik impor ilegal."Dengan meningkatnya harga produk porselen di dalam negeri, ada kemungkinan besar akan terjadi peningkatan impor ilegal untuk memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini justru dapat merugikan industri domestik dan menyebabkan kerugian bagi negara," kata Andry.
Selanjutnya: Selain itu, Andry menyatakan pengajuan BMAD belum mewakili keseluruhan produsen keramik....
Selain itu, Andry menyatakan pengajuan BMAD belum mewakili keseluruhan produsen keramik. Dia menilai rekomendasi tersebut hanya merepresentasikan 26 persen dari produksi keramik porselen secara nasional. Dia menilai minimnya keterwakilan produsen bertentangan dengan perjanjian antidumping yang disepakati oleh World Trade Organization atau WTO.
"Perjanjian Anti Dumping WTO yang mensyaratkan adanya major proportion dari total produksi domestik untuk pengajuan tersebut," kata Andry.
Lebih lanjut, kata Andry, kesalahan juga terjadi ketika KADI menggeneralisir tipe keramik. Saat ini, kebutuhan akan keramik porselen masih belum bisa dipenuhi oleh produsen dalam negeri. Sementara produsen dalam negeri saat ini memiliki keunggulan dalam memproduksi keramik body merah.
"Penggeneralisiran ini menyesatkan dan dapat menyebabkan kebijakan yang tidak tepat sasaran," katanya.
Andry mengatakan pemberian BMAD untuk produk asing juga belum mendesak. Sebab pemerintah baru saja memperpanjang kebijakan insentif Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk sektor industri keramik.
Dia menambahkan, industri keramik Indonesia saat ini memiliki target penambahan jumlah ekspansi keramik sebesar 88 juta meter persegi hingga akhir tahun 2024, dari kapasitas total sebesar 625 juta meter persegi yang sudah ada. "Artinya, pengenaan BMAD belum mendesak untuk
diterapkan pada produk ini," kata Andry.
Selanjutnya: "Ada tambahan kapasitas baru di industri keramik...."
"Ada tambahan kapasitas baru di industri keramik sebesar 88 juta meter persegi dan 75 persennya sudah tercapai," jelas Andry.
Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) sebelumnya mendesak Kementerian Keuangan untuk segera mengeluarkan aturan baru Bea Masuk AntiDumping (BMAD). Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto mengatakan jika tidak segera dikeluarkan, importir akan memanfaatkan masa tunggu saat ini untuk importasi masif demi menghindari bea masuk baru.
Hal ini akan merugikan industri keramik dalam negeri. Edy mengaku telah menerima surat dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) berisi penyampaian laporan akhir penyelidikan antidumping pengenaan BMAD. Setelah melakukan serangkaian proses penyelidikan dan verifikasi lapangan ke Cina, Edy mengatakan telah terbukti ada tindakan dumping.
“Seperti dilaporkan oleh Asaki satu setengah tahun yang lalu,” ujarnya lewat pernyataan tertulis, Rabu 3 Juli 2024.
Ia menilai besaran BMAD mulai dari 100,12 persen hingga 155 persen untuk kelompok berkepentingan yang kooperatif dan 199 persen untuk yang tidak kooperatif dalam penyelidikan KADI, telah mencerminkan bentuk keadilan dan keberpihakan pemerintah. Khususnya bagi keberlanjutan industri keramik nasional yang babak belur dihantam produk impor.
NANDITO PUTRA | ILONA ESTHERINA