Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Karyawan PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF) kembali mengeluhkan soal hak upahnya yang belum dibayarkan perusahaan. Perusahaan farmasi pelat merah ini telah menunggak pembayaran gaji karyawannya sejak Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Seperti diketahui, sejak beberapa tahun ke belakang, Indofarma terus merugi. Laporan Majalah Tempo pada edisi 15 Oktober 2023 menyebutkan bahwa pada kuartal pertama 2023, rugi tahun berjalan Indofarma mencapai Rp 61,7 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Selama tiga tahun masa pandemi 2020 sampai 2022, Indofarma terus merugi berturut-turut Rp 3,6 miliar, Rp 37,5 miliar, dan Rp 424,4 miliar. Kondisi tersebut berdampak pada karyawan dan pensiunan Indofarma.
Ketua Umum Serikat Pekerja Indofarma, Meida Wati mengatakan, bahwa sejak aksi damai pada 5 April 2024, perusahaan belum bisa memastikan kapan bakal melunasi gaji seribuan karyawan Indofarma.
"Belum ada kepastian. Bahasanya kembali lagi, enggak punya uang," kata Meida kepada Tempo pada Senin, 22 April 2024.
Sejak Januari dan Februari 2024, praktis pekerja Indofarma baru mendapatkan separuh dari total gajinya. Sementara untuk Maret, perusahaan Indofarma sama sekali belum memberikan sepeser gaji ke seribuan karyawannya. Menurut Meida, tanpa adanya kepastian dari perusahaan, para karyawan hanya bisa menunggu dan berharap gajinya dapat segera dibayarkan.
"Sampai saat ini kami baru melakukan dialog kepada direksi operasional, tapi tidak menutup kemungkinan akan ada aksi-aksi lainnya," ucapnya.
Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan Indofarma, Warjoko Sumedi membeberkan penyebab krisis keuangan Indofarma, perusahaan farmasi pelat merah ini. Ia menyatakan, bahwa krisis bermula saat pandemi Covid-19.
"Penjualan kami tidak sesuai harapan. Kami tidak mempunyai modal kerja untuk belanja material," katanya.
Tidak adanya modal kerja itu membuat perusahaan tak mampu memproduksi, sehingga berdampak pada penghasilan perusahaan. Ketika pandemi, Warjoko mengatakan bahwa perusahaan Indofarma dituntut untuk mampu menyediakan produk obat-obatan yang berkaitan dengan Covid-19 secara cepat. Karena kebutuhan masyarakat itu, Indofarma tidak ingin obat-obatan hasil produksinya kosong di pasaran.
"Kami tidak bisa memprediksi kapan Covid-19 selesai. Jadi kami belanja (material) yang ukurannya cukup banyak," ucapnya.
Setelah keputusan itu diambil, dengan banyaknya barang masih dalam proses impor, Covid-19 perlahan landai. Kondisi itu membuat sejumlah barang tidak bisa lagi dijual, dan kini menjadi beban yang tidak diprediksi perusahaan. Terlebih lagi obat-obatan itu memiliki masa kedaluwarsa, dan secara otomatis perusahaan wajib membebankan pengeluaran itu ke biaya.
"Karena tidak bisa dijual lagi. Dibukukan, bukan menjadi aset atau persediaan, tapi biaya," katanya.