Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan telah mengidentifikasi sejumlah masalah dan pekerjaan rumah dalam pelibatan pihak swasta dalam proyek infrastruktur di daerah. Selama ini, keterlibatan swasta dalam Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) masih minim, sehingga pembangunan lagi-lagi mengandalkan skema konvensional lewat APBN dan APBD.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pada dasarnya, KPBU dilakukan antara Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama (PJPK) dan swasta. "Esensinya adalah menawarkan business opportunity," kata Direktur Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur, Kemenkeu, Brahmantio Isdijoso, dalam Webinar pada Rabu, 2 September 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
PJPK ini bisa menteri, kepala lembaga, kepala daerah, BUMN, maupun BUMD. Saat kerja sama dilakukan, Kemenkeu akan memberikan setidaknya empat fasilitas: Project Development Fund (PDF), Viability Gap Fund (VGF), penjaminan pemerintah, pembiayaan infrastruktur.
Skema pengembalian investasi pun ada dua: user payment dan availability payment. Tapi yang paling krusial adalah, bagaimana kepala daerah meyakinkan equity sponsor atau lembaga keuangan untuk membiayai proyek yang ingin dibangun.
Dalam proses sebelum meyakinkan inilah, Kemenkeu mencatat sejumlah masalah dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Rinciannya yaitu:
1. Isu Pembebasan Lahan
Menurut Brahmantio, jika sebuah proyek dibangun di atas tanah yang belum jelas status penyelesaiannya, maka tidak akan ada lembaga keuangan yang mau memberikan pinjaman. Memang, ada Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) yang bisa membantu daerah.
LMAN biasanya memberikan talangan terlebih dahulu. Tapi walau demikian, eksekutor untuk penyelesaian di lapangan tetap ada di tangan kepala daerah.
2. Isu Revenue Stream
Dalam praktik di daerah, masalah juga muncul dalam kepastian pengembalian dana pihak swasta. Sebab, anggaran di pemerintah daerah terbatas dan perlu persetujuan politik dari DPRD masing-masing.
Sehingga dalam banyak kasus, harus dibantu dengan sokongan dana pemerintah pusat lewat skema Viability Gap Fund (VGF). Salah satunya dari PT Sarana Multi Infrastruktr, perusahaan negara di bawah Kemenkeu. "Ke depan inovasi harus dilakukan, cari cara yang lebih kreatif," kata Brahmantio.
3. Pendefinisian Lingkup
Kemudian, Brahmantio menyebut para penanggung jawab proyek, seperti halnya kepada daerah, harus bisa menjelaskan proyek yang ingin mereka bangun secara terukur. Proyek yang terlalu luas lingkup dan cakupannya, hanya akan berimplikasi pada capital expenditure (capex) dan operational expenditure (opex).
Agar proyek bisa jelas, Brahmantio menyebut perlu ada konsultasi publik dan kajian yang mendalam. Manfaat proyek ini bagi kesejahteraan masyarakat juga harus terukur. Jika ini terpenuhi, barulah pembiayaan bisa masuk dengan lebih mudah.
4. Perizinan dan regulasi
Kendala terakhir ada di sinkronidasi peraturan antara daerah dan pusat. Menurut Brahmantio, perlu ada regulasi yang membuat penanggung jawab proyek, seperti kepala daerah, menghormati kontrak dengan swasta di dalam KPBU.
Dalam webinar ini, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman juga meminta agar pemerintah daerah bisa lebih banyak menggunakan skema KPBU ini. Sehingga, peran swasta di infrastruktur di daerah bisa maksimal. "Kalau hanya tergantung APBN APBD, tidak akan bisa tinggal ketertinggalan (infrastruktur di daerah) tersebut," kata Luky.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga menilai mayoritas pembangunan di daerah masih menggunakan sumber konvensional. "Lagi-lagi APBN dan APBD. Inilah yang menyebabkan, pembangunan di daerah itu menurut pandangan saya lambat," kata dia.