Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTANIAN merupakan penyumbang devisi terbesar no. 2 setelah
minyak. Jumlah penduduk yang terlibat mencapai 80 juta orang.
Tetapi bidang ini nampaknya sangat terlambat menyerap teknologi
untuk mempertinggi produksi. Hal ini jadi bahan perbincangan
dalam konperensi Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi) yang
berlangsung pekan lalu di Jakarta.
Dalam sebuah upacara di Istana Negara, Presiden Soeharto membuka
konperensi dengan menabuh gong pembukaan. Presiden tak lupa
mengharapkan agar para sarjana pertanian yang ikut berkonperensi
dapat mencarikan jalan supaya para petani "dapat ikut merasakan
manfaat pembangunan".
Untuk meningkatkan penghasilan para petani, konperensi yang
berlangsung selama 3 hari itu menganggap, tak ada jalan lain
kecuali pemerintah melaksanakan pola industri dalam pertanian.
"Sasaran kami adalah petani yang masih miskin-miskin. Kami ingin
agar mereka menjadi industrialis," kata Ir. Achmad Affandi,
Menteri Muda Urusan Pangan yang duduk sebagai Ketua Umum Peragi.
Tapi bagaimana? Ketua I Peragi, Prof. Dr. Ir. Gunawan Satari
menyebutkan: jalan untuk mengindustrialisasikan petani dapat
dilaksanakan dengan memperkenalkan kepada para petani prinsip
dasar industri. Yaitu dengan mengubah dan mengolah hasil tanaman
melalui teknologi. "Para petani juga harus dituntun agar dapat
mengolah, memasarkan dan meningkatkan mutu produksi. Dengan
demikian nilai tambah. (added value) hasil tanaman bisa
meningkat," ulasnya.
Menurut Gunawan Satari para petani belum memanfaatkan teknologi
untuk hasil pertanian mereka. Ia mengambil contoh singkong.
Katanya, hasil pertanian ini bisa dijadikan beberapa bahan
konsumsi dengan memanfaatkan teknologi yang tidak terlalu
tinggi. "Singkong bisa diolah menjadi chips (keripik) atau bisa
juga dijadikan cube (makanan berbentuk kubus). Harganya kalau
dijual tentu lebih mahal," katanya. Pemanfaatan teknologi
seperti itu bisa juga dilaksanakan pada hasil tanaman lain.
Tetapi apakah keterlambatan teknologi untuk pertanian
semata-mata hanya karena kelemahan petani? Ahli agronomi
(pembudidayaan lahan pertanian) itu berpendapat pelaksanaannya
belum ada saat ini, "karena pola penanganan tanaman pangan yang
tak terpadu." Katanya, perhatian pemerintah hanya terpusat
kepada padi. Akibatnya petani terpesona pada padi saja.
Mengindustrialisasikan pertanian sebaaimana yang dicetuskan
dalam konperensi yang berlangsung di Hotel Horizon, Jakarta,
nampak diterima dengan dingin oleh organisasi tani HKTI
(Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). "Kami sih setuju saja.
Soalnya apakah konsep itu bisa jalan tanpa dana yang cukup?"
debat Ali Hanafiah, bendahara HKTI Pusat.
Ia menyesalkan tentang sudah begitu banyak seminar, diskusi dan
kegiatan sejenis yang telah diadakan, tapi pelaksanaannya tidak
langsung dikecap petani. "Jika pemerintah benar-benar mau,
sebenarnya bisa. Tapi lihat saja nanti pada anggaran yang
dicantumkan di APBN," ujarnya kecewa.
Tetapi Peragi yang beranggotakan 1.296 ahli agronomi sudah
bertekad untuk melaksanakan keputusan yang mereka ambil dalam
konperensi di pantai Ancol itu. "Konsep industrialisasi
pertanian akan kami laksanakan lewat komisariat di daerah," kata
Gunawan Satari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo