Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Perdagangan dan Koperasi, Radius Prawiro cepat menyambut
itu Keppres 14/1979. Liwat SK nomer 428/Kp/VI 11 Juni lalu, ia
mengeluarkan peraturan penyederhanaan prosedur perizinan usaha
dagang yang sudah lama dinanti-nanti para pengusaha. "Khusus
bagi pedagang ekonomi lemah pribumi pemerintah memberikan
keringanan untuk memperoleh Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP),
tanpa terlebih dulu harus memiliki surat izin tempat usaha dari
pemerintah daerah," kata Radius. Bahkan untuk PT Persero dan
badan hukum koperasi diberikan SIUP otomatis. Juga untuk
melancarkan Keppres 14/1979 itu surat fiskal yang dulu berlaku
cuma 3 bulan kini diperpanjang menjadi setahun.
"Usaha pemerintah itu benar-benar menimbulkan gairah bagi
pengusaha kecil pribumi," kata dr Roosita, Ketua I Bidang
pembinaan Pengusaha Kecil Kadin Pusat. H.A. Ismail, eksportir
tembakau yang juga menjabat Ketua bidang pembinaan pengusaha
ekonomi lemah Kadin Jaya juga berpendapat demikian.
Seperti dikatakan Memperdag Radius, dengan penyederhanaan SIUP
ini maka masalah pemilikan SIUP, izin tempat usaha dan KIK/KMKP
yang merupakan suatu "lingkaran setan yang tak terpecahkan,"
kini sudah dapat diatasi. Dulu, untuk mendapatkan KIK/KMKP
diharuskan memiliki kedua izin itu sekaligus. Kini dengan
memiliki SIUP saja pengusaha kecil pribumi dapat mengajukan
permohonan kredit investasi kecil atau kredit investasi modal
kerja permanen. Namun pihak Kadin menghendaki agar untuk
mendapatkan kredit bank itu cukup dipakai surat kontrak sebagai
jaminan. Menurut mereka kalau persyaratannya tetap berupa
jaminan fisik tak banyak perusahaan yang bakal mendapat bantuan.
Kredit Terarah
Walaupun demikian, pihak Kadin yakin Bank Sentral akan mengambil
langkah sesuai dengan seruan Kepala Negara baru-baru ini.
Presiden minta "dikembangkannya segera kebijaksanaan kredit
terarah, tanpa menimbulkan inflasi." H.A. Ismail beranggapan
Bank Sentral perlu cepat melaksanakannya. "Kalau terlalu lama,
maka kegairahan yang ada sekarang bisa berobah menjadi apatis,"
kata Ismail.
Sampai sekarang sudah lebih sebulan umur Keppres 14/1979 itu.
Tapi untuk tahun anggaran 1979/1980 menurut Roosita "belum
banyak yang dapat menikmati hasilnya." Kenapa? Sebelum keluarnya
pelaksanaan Keppres itu, "praktis hampir semua pra kwalifikasi
untuk menjadi rekanan instansi pemerintah sudah tertutup."
Kalaupun masih bersisa, menurut dia ternyata belum semua
instansi menghayati makna dari kebijaksanaan pemerintah itu.
Surat fiskal yang menjadi salah satu syarat ikut dalam pra
kwalifikasi (tender) yang menurut ketentuan baru berlaku untuk
masa setahun, menurut Roosita oleh pihak perpajakan dianggap
berlaku hanya untuk 3 bulan, sesuai dengan ketentuan lama.
"Pajak Penjualan (PPn) untuk beberapa macam barang tertentu yang
telah diturunkan oleh Menteri Ali Wardhana, oleh instansi
perpajakan toh masih dipungut menurut ketentuan lama," katanya.
Sering Pingsan
Untuk bisa ikut dalam suatu tender instansi pemerintah maupun
perusahaan-perusahaan milik negara rupanya masih berpatokan pada
syarat: apakah si pribumi itu pernah ikut pra kwalifikasi.
"Kalau cuma berdasarkan pada pengalaman ikut tender maka bagi
pengusaha pribumi kecil sampai kiamat pun tak bakal ditunjuk
sebagai rekanan," kata Ismail. Dan sampai minggu lalu, Kadin
belum menerima laporan berapa dari anggotanya yang sudah
menikmati hasil Keppres itu. Untuk mengetahuinya Kadin Jaya akan
mengumpulkan anggotanya 15 Juli ini.
Tampaknya jalan menuju pemerataan pendapatan bagi pribumi kecil
ini masih panjang. Bahkan menurut ir Setiadi Dirgo, 46 tahun,
Direktur PT Semen Cibinong, "untuk menjadi tuan rumah di rumah
sendiri tak cukup hanya dengan 1 Keppres saja." Tapi diperlukan
program yang sistimatis dan terus menerus. Pendapatnya ini
didasarkan pada pengalamannya dalam membina 7 pengusaha pribumi
dan 2 PN niaga negara dari 13 distributor semen Cibinong. "Kalau
hanya didasarkan pada kelugasan dan bisnis semata. ke-7
distributor pribumi itu sudah lama mati," katanya.
Dalam menghadapi persaingan di pasar umumnya mereka itu sering
"pingsan", katanya. "Manajemen dan feeling dalam bisnis kurang
tajam dibandingkan non pri."
Setiadi Dirgo juga masih prihatin di bidang sub distributornya.
Dari sekitar 100 sub distributor pabrik semen itu di seluruh
Indonesia, 70-80% dipegang oleh pengusaha non pri. Maka dalam
program kerjanya setiap distributor diharuskan memiliki sub
distributor pribumi. Tapi dia juga merasakan kemungkinan
terjadinya Ali-Baba model baru. Seperti dikatakan Menpan
Sumarlin ketika menjelaskan makna Keppres 14/1979 tersebut, itu
merupakan "hal yang tak bisa dihindarkan." Bahkan menurut
Roosita "kini sudah ada pengusaha non pri yang merobah akte
notarisnya." Dalam hal ini pihak Kadin agaknya tutup mata. Sebab
"itu hanya bersifat sementara," katanya. Sampai kapan, itulah
soalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo