Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Seperti Ikan Dalam Air

Sistim pendidikan perguruan taman siswa Tutwuri Handayani, dimana siswa bebas mengembangkan bakatnya masing-masing. Lulusannya kalau dilepas dalam masyarakat seperti ikan dilepas dalam air. (pdk)

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELAWAK Ateng, duduk di Taman Siswa sejak Taman Indriya sampai Taman Dewasa. Lulus 1961. Ia merasa telah dibentuk oleh sistim pendidikan Perguruan Taman Siswa. "Setiap Hari Krida saya belajar melawak. Dan mungkin melihat bakat saya, Pak Said menitipkan saya kepada Pak Kasur," ceritanya mengingat masa lalu. Pelawak ini dulu dijuluki "si Bendera" oleh kawan-kawannya, bukan untuk mengejek tubuhnya yang pendek, tapi kalau disuruh menyanyi selalu menyanyikan Berkibarlah Benderaku. Toh, ia tak sempat mempunyai rasa rendah diri. "Berkat Taman Siswa, yang guru-gurunya adalah sekaligus sahabat dan bapak," katanya. Tapi ia merasa sayang, "Kualitas lulusan Taman Siswa sekarang mundur." Menurutnya situasi di luar sekolah banyak sekali mempengaruhi anak-anak. "Dulu kita telat sedikit saja, mau masuk takutnya luar biasa. Anak-anak sekarang, sih, santai-santai saja." Juga diceritakannya, begitu lulus dari PTS dia sudah merasa berani hidup, "sudah dapat mengurus diri sendiri." Tapi rekannya, Benyamin Sueb, yang hanya di Taman Madya-nya saja dan lulus tahun 1958, tak bersedia memberikan komentar. Katanya: "Saya sudah lama tak tahu perkembangannya." Hanya ia memang merasa berhutang budi kepada Taman Siswa. "Dengan sistim Tut Wuri Handayaninya kita bebas mengembangkan bakat kita masing-masing." Kalau Benyamin waktu itu sampai tertarik masuk PTS, ialah karena "keakraban pergaulan guru dan juga siswa-siswanya." Juga karena banyaknya tokoh nasional lulusan PTS. "Saya sering baca buku tentang mereka, dari situlah saya tahu Taman Siswa." Direktur penerbit PT Dunia Pustaka Jaya dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Ajip Rosidi, masuk PTS sekitar 1953, langsung ke Taman Madyanya. "Waktu itu saya sudah suka menulis dan sudah dimuat di berbagai majalah. Di sekolah negeri perhatian terhadap siswa yang memiliki kegiatan seperti itu tak ada. Di Taman Siswa diperhatikan. Itulah sebabnya saya masuk Taman Siswa," katanya. Menurut pengamatannya kegiatan PTS dalam kebudayaan sekarang ini berkurang. "Entah karena memang suasana negeri ini menyebabkan begitu, atau karena pamongnya tak ada yang menggairahkan kegiatan semacam dulu lagi." Dulu sering ada diskusi dengan pembicara tokoh-tokoh masyarakat, antara lain Sudjatmoko dan HB Jassin. Dalam film Si Doel Anak Modern, ada dialog antara Benyamin dengan Achmad Albar. Albar yang pernah sekolah di Perancis mengejek si Doel yang kampungan. Jawab si Doel: "Pantas lu jadi sok enji! Mustinya lu disekolahin di Taman Siswa, kayak gua. Biar tau adat sedikit, nyaho?" Kelas Dua Skenario karya Sjuman Djaja yang lulusan Taman Madya itu, memang dibuat dengan rasa kebanggaan terhadap Taman Siswa. "Kita dididik untuk merasa bahwa sekolah adalah rumah kita juga. Gedung itu, halaman itu, papan tulis itu adalah juga milik kita," cerita Sjuman. Itu yang menyebabkan dia merasa betah dan merasa bebas berkembang di PTS. "Para pamongnya memberi tauladan langsung," tambah Sjuman. Maka ia sangsi, bagaimana para pendidik bisa mendidikkan kesederhanaan kalau dia sendiri tak memberi contoh. Mau tahu bedanya hasil PTS dengan sckolah lain? "Anak lulusan Taman Siswa kalau dilepas dalam masyarakat seperti ikan dilepas dalam air," katanya berkias-kias. Jadi apakah Taman Siswa menurut Sjuman tak lagi seperti dulu, karena kini menjadi sekolah kelas dua saja? "Masyarakat kita yang kalah. Saya justru membayangkan andai sistim Taman Siswa diperluas ke sekolah lain, tentu kesenjangan antara kesederhanaan dan kemewahan tak begitu tampak dalam masyarakat kita kini." "Singkatnya, Taman Siswa mendidik anak-anak untuk berani hidup menurut lingkungannya dengan jujur berdasar kekuatan sendiri. Itu saja." Agaknya PTS Jakarta lebih menonjolkan kcgiatan keseniannya, sehingga yang nampak di masyarakat sekarang anak didiknya yang memiliki profesi kesenian. "Barangkali karena Pak Said waktu itu mengarahkan ke sana," kata Ki Soeratman. "Di Yogya lain lagi. Banyak anak-anak di bidang lain pun jadi orang."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus