Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELAWAK Ateng, duduk di Taman Siswa sejak Taman Indriya sampai
Taman Dewasa. Lulus 1961. Ia merasa telah dibentuk oleh sistim
pendidikan Perguruan Taman Siswa. "Setiap Hari Krida saya
belajar melawak. Dan mungkin melihat bakat saya, Pak Said
menitipkan saya kepada Pak Kasur," ceritanya mengingat masa
lalu.
Pelawak ini dulu dijuluki "si Bendera" oleh kawan-kawannya,
bukan untuk mengejek tubuhnya yang pendek, tapi kalau disuruh
menyanyi selalu menyanyikan Berkibarlah Benderaku. Toh, ia tak
sempat mempunyai rasa rendah diri. "Berkat Taman Siswa, yang
guru-gurunya adalah sekaligus sahabat dan bapak," katanya.
Tapi ia merasa sayang, "Kualitas lulusan Taman Siswa sekarang
mundur." Menurutnya situasi di luar sekolah banyak sekali
mempengaruhi anak-anak. "Dulu kita telat sedikit saja, mau masuk
takutnya luar biasa. Anak-anak sekarang, sih, santai-santai
saja." Juga diceritakannya, begitu lulus dari PTS dia sudah
merasa berani hidup, "sudah dapat mengurus diri sendiri."
Tapi rekannya, Benyamin Sueb, yang hanya di Taman Madya-nya
saja dan lulus tahun 1958, tak bersedia memberikan komentar.
Katanya: "Saya sudah lama tak tahu perkembangannya." Hanya ia
memang merasa berhutang budi kepada Taman Siswa. "Dengan sistim
Tut Wuri Handayaninya kita bebas mengembangkan bakat kita
masing-masing."
Kalau Benyamin waktu itu sampai tertarik masuk PTS, ialah karena
"keakraban pergaulan guru dan juga siswa-siswanya." Juga karena
banyaknya tokoh nasional lulusan PTS. "Saya sering baca buku
tentang mereka, dari situlah saya tahu Taman Siswa."
Direktur penerbit PT Dunia Pustaka Jaya dan Ketua Dewan Kesenian
Jakarta, Ajip Rosidi, masuk PTS sekitar 1953, langsung ke Taman
Madyanya. "Waktu itu saya sudah suka menulis dan sudah dimuat di
berbagai majalah. Di sekolah negeri perhatian terhadap siswa
yang memiliki kegiatan seperti itu tak ada. Di Taman Siswa
diperhatikan. Itulah sebabnya saya masuk Taman Siswa," katanya.
Menurut pengamatannya kegiatan PTS dalam kebudayaan sekarang ini
berkurang. "Entah karena memang suasana negeri ini menyebabkan
begitu, atau karena pamongnya tak ada yang menggairahkan
kegiatan semacam dulu lagi." Dulu sering ada diskusi dengan
pembicara tokoh-tokoh masyarakat, antara lain Sudjatmoko dan HB
Jassin.
Dalam film Si Doel Anak Modern, ada dialog antara Benyamin
dengan Achmad Albar. Albar yang pernah sekolah di Perancis
mengejek si Doel yang kampungan. Jawab si Doel: "Pantas lu jadi
sok enji! Mustinya lu disekolahin di Taman Siswa, kayak gua.
Biar tau adat sedikit, nyaho?"
Kelas Dua
Skenario karya Sjuman Djaja yang lulusan Taman Madya itu, memang
dibuat dengan rasa kebanggaan terhadap Taman Siswa. "Kita
dididik untuk merasa bahwa sekolah adalah rumah kita juga.
Gedung itu, halaman itu, papan tulis itu adalah juga milik
kita," cerita Sjuman. Itu yang menyebabkan dia merasa betah dan
merasa bebas berkembang di PTS. "Para pamongnya memberi tauladan
langsung," tambah Sjuman. Maka ia sangsi, bagaimana para
pendidik bisa mendidikkan kesederhanaan kalau dia sendiri tak
memberi contoh.
Mau tahu bedanya hasil PTS dengan sckolah lain? "Anak lulusan
Taman Siswa kalau dilepas dalam masyarakat seperti ikan dilepas
dalam air," katanya berkias-kias. Jadi apakah Taman Siswa
menurut Sjuman tak lagi seperti dulu, karena kini menjadi
sekolah kelas dua saja? "Masyarakat kita yang kalah. Saya justru
membayangkan andai sistim Taman Siswa diperluas ke sekolah
lain, tentu kesenjangan antara kesederhanaan dan kemewahan tak
begitu tampak dalam masyarakat kita kini."
"Singkatnya, Taman Siswa mendidik anak-anak untuk berani hidup
menurut lingkungannya dengan jujur berdasar kekuatan sendiri.
Itu saja."
Agaknya PTS Jakarta lebih menonjolkan kcgiatan keseniannya,
sehingga yang nampak di masyarakat sekarang anak didiknya yang
memiliki profesi kesenian. "Barangkali karena Pak Said waktu itu
mengarahkan ke sana," kata Ki Soeratman. "Di Yogya lain lagi.
Banyak anak-anak di bidang lain pun jadi orang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo