Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Julia Perez mendapat kartu kuning. Beberapa saat kemudian, ”hukuman” artis seksi ini bertambah menjadi kartu merah. Tapi anehnya, Jupe—demikian dia biasa dipanggil—tidak menyesal, malah terus nyerocos berbicara. ”Wah, padahal gue paling jago bicara ginian,” katanya tak mempedulikan peringatan ”wasit”.
Lho, kok bicara? Memang, Julia bukan sedang bermain sepak bola. Dia menjadi salah satu pembicara dalam acara bincang-bincang televisi bernama Silat Lidah. Talk show yang ditayangkan di ANTV setiap Kamis pukul 10 malam ini punya aturan main unik. Pembicara yang kelewat vulgar dalam menjawab, bicaranya tidak henti, atau memaki, akan mendapat peringatan kartu kuning atau merah. Bila terkena kartu merah, pembicara tidak diizinkan berkomentar untuk putaran berikutnya.
Nah, ketika itu Julia mendapat kartu kuning, lalu merah, karena dia melakukan gerakan asosiatif. Topik yang sedang dibicarakan adalah seks oral. Makanya, Julia terus bicara—dia merasa ahli dalam topik ini—meskipun sudah disemprit Irwan Ardian, sang host. Namun tidak hanya Julia yang dihentikan, episode Silat Lidah yang berbicara tentang seks oral itu yang batal ditayangkan. ”Kami buang, takut vulgar,” kata Produser Eksekutif Silat Lidah ANTV, Kelly da Cunha.
Silat Lidah bisa dikatakan berbeda dibanding format acara bincang-bincang televisi lainnya. Tak seperti Empat Mata yang menjual kelucuan dan ke-ndeso-an Tukul Arwana, Silat Lidah mengekspos kecerewetan enam panelis yang semuanya perempuan. Empat panelis tetap, yaitu Ratna Sarumpaet, Ria Irawan, Melissa Karim, dan Julia Perez. Dua sisanya adalah bintang tamu yang disesuaikan dengan topik yang dibicarakan.
Acara berdurasi satu jam itu dipimpin seorang moderator sekaligus tuan rumah acara: Irwan Ardian. Dia tidak hanya bertugas mengatur lalu lintas pembicaraan—yang kadang chaotic dan luar biasa ribet karena harus ”mengendalikan” mulut perempuan-perempuan cerewet—tapi juga bertindak seperti penguasa. ”Saya dirancang menggunakan power of man,” kata Irwan yang juga penyiar radio Indika itu.
Selain itu, Irwan juga harus menetralkan acara. Maklum, sering kali komentar dan pendapat panelis terlalu tajam dan ceplas-ceplos. Mereka kadang saling menimpali kata, tanpa menunggu saatnya dipersilakan bicara. Untuk itulah Irwan selalu bilang ”jangan pernah sakit hati” pada setiap jeda atau di akhir acara.
Irwan juga satu-satunya yang memegang skenario. Sehari sebelum rekaman, dia sudah mendapatkan surat-surat atau email berisi topik bahasan. Yang dibahas beragam, mulai dari kehidupan pasangan, politik, gaya hidup, hingga tren. Dia juga sudah diberi tahu siapa panelis tamunya. Sedangkan keempat panelis tetap baru tahu topik yang dibahas sekitar setengah jam sebelum pengambilan gambar.
Jadi, sangat kelihatan siapa panelis yang komentarnya tajam berbobot atau asal seru saja. Juga tampak siapa yang menguasai persoalan atau sekadar ikut bicara. Tapi Julia, yang sering dianggap sebagai panelis yang paling tak berotak, tidak menghiraukan soal wawasan. ”Aku nggak merasa dibego-begoin. Saya jujur, polos, apa adanya, nggak munafik,” tangkisnya.
Mungkin karena terlalu ”apa adanya”, tayangan yang sudah memasuki bulan kelima ini pernah diperingatkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Komisi itu menilai Silat Lidah terlalu vulgar, karena membicarakan hubungan seksual laki-laki perempuan secara terbuka. Salah satu tayangan yang diperingatkan adalah pengalaman pengirim surat, ketika bercinta dengan istri, anaknya masuk ke kamar tidur mereka. ”Padahal sih bukan vulgar, tapi memang membicarakan soal organ tubuh di masyarakat kita yang dianggap masih porno,” ujar Kelly. Ya, paling tidak, Silat Lidah bisa menjadi pilihan pemirsa ketimbang menonton sinetron yang isinya pasangan selingkuh dan orang marah-marah melulu.
Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo