Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim menjelaskan mengenai proyek blast furnace yang sempat disinggung oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, lantaran membuat perseroan menanggung utang yang cukup besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Silmy mengatakan proyek blast furnace diinisiasi pada 2008 dan memasuki masa konstruksi pada tahun 2012, jauh sebelum ia bergabung di Krakatau Steel pada akhir tahun 2018. "Manajemen saat ini sudah mendapatkan solusi agar fasilitas atau pabrik yang tadinya mangkrak bisa jadi produktif,” kata Silmy Karim dalam keterangan tertulis, Selasa, 28 September 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Silmy, saat ini perseroan sudah memiliki dua calon mitra strategis, bahkan satu calon sudah menandatangani Memorandum of Agreement (MOA) dengan perusahaan. Adapun satu calon mitra lainnya sudah menyampaikan surat minat untuk bekerja sama ihwal Blast Furnace.
"Artinya sudah ada solusi atas proyek Blast Furnace. Kita targetkan Kuartal 3 2022 akan dioperasikan,” kata Silmy. Pengoperasian Blast Furnace nantinya akan menggunakan teknologi yang memaksimalkan bahan baku dalam negeri yaitu pasir besi. Ia berujar penggunaan pasir besi ini akan menghemat biaya produksi dan menurunkan impor bahan baku dari luar negeri yaitu iron ore.
Sebelumnya, Erick Thohir mengatakan salah satu perusahaan pelat merah yang dibenahi lantaran memiliki utang cukup besar adalah Krakatau Steel. Produsen baja ini tercatat memiliki utang sekitar US$ 2 miliar atau setara Rp 31 triliun.
Utang tersebut, kata Erick, terjadi salah satunya karena investasi US$ 850 juta kepada proyek blast furnace yang hari ini mangkrak. Ia menyebut akan mengusut persoalan tersebut.
"Ini kan hal yang tidak bagus. Pasti ada indikasi korupsi dan akan kita kejar siapa pun yang merugikan. Kita bukannya mau menyalahkan, tapi penegakan hukum yang tadi business process salah harus kita perbaiki," ujar dia.
Guna membenahi kondisi perusahaan tersebut, Erick mengatakan restrukturisasi saat ini sudah berjalan dengan baik. Restrukturisasi, kata dia, dilakukan dalam dua langkah. Langkah pertama adalah membuat subholding untuk kawasan industri yang ada di Krakatau Steel agar terintegrasi untuk air, listrik, hingga lahan.
"Akan dikelola secara profesional dan di-go public-kan, supaya ada funding baru mencicil utang US$ 2 miliar tadi," tutur Erick.
Selain itu, Erick mengatakan pihaknya akan melakukan negosiasi kerja sama dengan perusahaan baja asal Korea, Posco. Sehingga, kepemilikan Indonesia dan Posco nantinya bisa 50:50. Ia mengatakan selama 6-7 tahun ini kemitraan dengan Posco telah menghasilkan pemasukan yang baik.
"Kita lakukan dengan Posco dan kita efisiensi besar-besaran. Terima kasih kepada direksi dan komisaris Krakatau Steel, akhirnya dengan restrukturisasi utang, perbaikan cashflow, efisiensi, ada proyek-proyek yang juga baik. Akhirnya yang delapan tahun rugi terus menerus, sekarang bisa untung Rp 800 miliar," kata Erick.