Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Lo Kheng Hong dan Jos Parengkuan Blak-blakan Soal Nyaris Bangkrut Saat Krisis

Sempat hadapi krisis berkali-kali, dua investor legendaris Lo Kheng Hong dan Jos Parengkuan tetap bertahan menggeluti pasar saham.

27 Desember 2021 | 05.35 WIB

Lo Kheng Hong. Foto/Instagram
Perbesar
Lo Kheng Hong. Foto/Instagram

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Sempat hadapi krisis berkali-kali, dua investor legendaris Lo Kheng Hong dan Jos Parengkuan tetap bertahan menggeluti pasar saham. Bahkan mereka bisa menambah kekayaan.

The Dragon of IDX, julukan Jos Parengkuan, yang juga pendiri Syailendra Capital berbagi kisahnya bangkit dari kebangkrutan saat menghadapi krisis 1998. Ketika baru mulai investasi, belum sampai 10 tahun, dan masih kurang berpengalaman.

“Saya waktu itu boleh dikatakan bangkrut, uang yang saya kumpulin sekian banyak susut tinggal US$ 15.000. Waktu itu rupiah melemah dari Rp 2.400 sampai jadi Rp 17 ribu, terus banyak yang bilang bisa sampai Rp 25 ribu. Kalau segitu matilah kita semua. Bunga bank BCA itu bunganya 67 persen, ini bener-bener udah kaya mau kiamat rasanya,” ujarnya pada podcast SyailendraCapital, Sabt, (25 Desember 2021.

Lalu, bagaimana caranya pulih? Ketika kurs rupiah di Rp 17 ribu, Jos memilih mengkonversi semua deposito US$ 15 ribu, untuk beli saham.

“Karena di tengah krisis begini, semua orang ketakutan, Apa lagi yang bisa lebih buruk dari sekarang?” kata dia

Jos kemudian mengambil investasi dengan pandangan jangka panjang, lalu memilih ketika menghadapi krisis, cari saham yang perusahaannya tidak akan bangkrut. “Saya pilih Astra International, ini menurut saya dari sisi corporate governance bagus, produk-produknya terbukti, track recordnya bagus,” ungkapnya.

Harga saham Astra sudah turun dari Rp 4.000 ke Rp 450, nahas dua pekan kemudian, harganya malah makin anjlok tinggal setengahnya ke Rp 225.

“Jadi ternyata apa yang kita pikir udah murah, kalau lagi krisis itu pasar itu sudah sangat emosional, tidak rasional, ternyata masih bisa turun 50 persen lagi. Untung saya pegangin, saya udah nggak sanggup cut loss lagi, nggak sampai sebulan dia naik ke Rp 700,” ujarnya.

Selanjutnya, dia investasi di saham yang lain, dengan strategi nekat, cari saham yang bagus, dan semuanya dorong ke satu saham.

“Nggak ada pikir untuk diversifikasi lagi, tapi ya alhamdulillah setahun kemudian recover. Take profit-nya saya jual di 700. Kecepetan itu sebetulnya. Tapi waktu itu, pelajaran yang bisa kita ambil itu market itu sangat emosional, waktu turun nggak kira-kira, waktu naik juga nggak kira-kira,” ujarnya.

Senada, Warren Buffet-nya Indonesia, Lo Kheng Hong, juga memilih menggelontorkan semua sisa uangnya ketika krisis ke satu saham. Yang jadi pilihannya adalah milik anak usaha Astra, PT United Tractors Tk. (UNTR).

“Waktu 1998, jadi kalau pak Jos katanya bangkrut, saya nyaris. Uang saya berkurang 85 persen, sisa 15 persen, waktu itu udah full time investor lagi. Punya istri, anak dua, saya nggak kerja lagi, akhirnya uang saya belikan UNTR,” kata dia.

Kenapa? Karena saat itu harga sahamnya anjlok ke Rp 250. Padahal, saat itu laba usaha per saham Rp 7.800. Kendalanya, saat itu, saham yang dibelinya mandeg di Rp 400 dan tidak naik-naik lagi,

Pak Hong kemudian mengambil untung setelah memegang saham UNTR selama enam tahun, dan menjualnya pada 2004, di harga Rp 15 ribu.

“Ini juga masih awam, karena kan duit saya kecil kemudian jadi tiba-tiba jadi banyak. Saya mikir kalau duit saya hilang gimana, jadi saya jual,” ujarnya.

Jos menambahkan, menurutnya krisis tak bisa diprediksi. Apalagi, biasanya datang ketika pasar sedang naik. “Yang namanya krisis atau market crash, tidak pernah terjadi ketika semua lagi tenang. Pasti semua lagi happy, lagi make money, lagi enak-enaknya, bohong kalau mau distop. Makanya, yang penting itu bukan prediksi market crash, tapi bagaimana ketika market crash kita bisa berpikir kepala dingin, bisa berfikir rasional, manfaatkan peluang yang ada, karena bakal banyak ‘Mercy yang dijual dengan harga bajaj’,” ujarnya.

Lo Kheng Hong juga mengungkapkan, “yesterday is history, tomorrow is mistery”. Krisis datang tidak ada yang tahu, baik 1998, 2008, dan 2020. Tapi, untuk antisipasi, Hong menghindari tidak mau berutang.

“Saya mending dorong uang saya 99 persen dibeliin saham, saya berani, tapi jangan suruh saya tambah utang. Karena ketika krisis datang saya nggak akan bisa bertahan. Kalau saya nggak berutang krisis sedalam apa pun saya bisa bertahan, saya pegang terus sahamnya, saya akan menunggu dia kembali naik lebih tinggi,” ujar Lo Kheng Hong.

Baca juga: Cerita Lo Kheng Hong Setop Kerja di Usia 37 Tahun untuk Jadi Full Investor Saham

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus