Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Gianyar kembali menggelar tradisi unik, yakni perang-perangan menggunakan janur, atau disebut Siat Sampian, di area Pura Samuan Tiga, Gianyar. Tradisi yang diselenggarakan tiga hari setelah Puncak Karya Pujawali Pura Samuan Tiga ini menjadi simbol memerangi kejahatan atau adharma. Tradisi ini melibatkan orang laki-laki yang disebut parekan, dan kaum perempuan yang disebut permas.
Prosesi Siat Sampian diawali dengan Nampyog, yakni para permas sebanyak 60 orang berjalan mengelilingi halaman madnya mandala pura sambil menari sederhana atau disebut Tari Sutri. Nampyog dilakukan selama tiga kali, dan gerakannya selalu berubah. Selama berkeliling, pinggang permas diikatkan selembar selendang putih secara sambung-menyambung oleh para permas di barisan berikutnya atau disebut proses Ngober.
Seusai prosesi Ngober, para laki-laki melakukan maombak-ombakan, yakni para parekan saling berpegangan satu sama lain mengelilingi halaman pura. Parekan berjumlah 360 orang yang saling berpegangan ini berputar selama tiga kali disertai dengan teriakan-teriakan seperti orang kesurupan. Mereka pun berusaha memegangi bangunan suci yang ada di pura.
Prosesi ini disertai dengan tetabuhan yang menambah semangat parekan dan permas untuk memulai Siat Sampian. Puncaknya, para parekan saling lempar sampian yang sudah disiapkan. Mereka kemudian saling pukul serta melempar sebagai simbol perang dengan menggunakan janur selama lebih-kurang 15 menit.
Ketua Paruman Pura Samuan Tiga I Wayan Patera menjelaskan, Siat Sampian hanya boleh diikuti oleh parekan dan permas yang dimaknai penyucian bhuwana agung dan bhuwana alit. Adapun perang tersebut digambarkan sebagai pertarungan antara dua kekuatan berbeda, yakni kebaikan dan keburukan, dan yang menang pada akhirnya adalah kebenaran.
"Seusai Siat Sampian, semua parekan masiram di beji yang mempunyai makna penyucian diri, dan malam harinya dilaksanakan Pangeremekan Karya," ujarnya, Minggu, 24 April 2016.
I Wayan memaparkan, sampian dipilih sebagai alat perang-perangan karena merupakan bagian ujung dari dangsil atau sarana upacara yang terbuat dari pohon palegantung (kecuali kelapa), yang dipersembahkan para parekan. Selain itu, sampian merupakan lambang senjata milik Dewa Wisnu yang digunakan untuk memerangi adharma atau kejahatan dari muka bumi.
BISNIS.COM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini