Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Megaproyek PLN 35 Ribu MW, Baru 11 Persen yang Beroperasi

Berdasarkan data PLN, hingga Oktober 2019, dari 35.516 MW pembangkit yang masuk dalam megaproyek tersebut, baru sebanyak 11 persen

26 November 2019 | 08.15 WIB

Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Tengah PLN Nasri Sebayang (depan kiri) meninjau Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi 500 kV Pedan di Kabupaten Klaten. Menurut Nasri, sistem kelistrikan Jawa-Bali sudah kuno sehingga rawan terjadi banyak hambatan jika pembangkit-pembangkit listrik baru sudah beroperasi. TEMPO/DINDA LEO LISTY
Perbesar
Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Tengah PLN Nasri Sebayang (depan kiri) meninjau Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi 500 kV Pedan di Kabupaten Klaten. Menurut Nasri, sistem kelistrikan Jawa-Bali sudah kuno sehingga rawan terjadi banyak hambatan jika pembangkit-pembangkit listrik baru sudah beroperasi. TEMPO/DINDA LEO LISTY

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Realisasi megaproyek 35.000 MW belum bertambah signifikan padahal sejumlah pembangkit besar yang masuk dalam proyek tersebut telah rampung. Berdasarkan data PLN, hingga Oktober 2019, dari 35.516 MW pembangkit yang masuk dalam megaproyek tersebut, baru sebanyak 11 persen alias 3.946 MW pembangkit yang baru beroperasi komersial (commercial operation date/COD). 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Sisanya, sebanyak 65 persen atau 23.129,8 MW masih melakukan konstruksi, 20 persen atau 6.877,6 MW masih melakukan penyelesaian pendanaan (finnacial closing), 2 persen atau 829 MW sedang pengadaan, dan 2 persen atau 734 MW sedang tahap perencanaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kita lagi mengevaluasi, menganalisis kenapa terjadi seperti itu, untuk menyampaikan analisis ke depannya, baru pendahuluan saja, ngobrol-ngobrol," kata Rida Mulyana Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM kepada Bisnis, Senin 25 November 2019.  

 

Rida mengatakan realisasi pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai dengan target awal saat megaproyek ini dicanangkan menjadi salah satu batu sandungan. Pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai target ini juga diikuti dengan pertumbuhan konsumsi listrik yang rendah. 

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2019 adalah sebesar 5,02 persen. Sedangkan pertumbuhan penjualan listrik PLN hingga Oktober 2019 adalah sebesar 4,15 persen.

Menurut Rida, seharusnya ada elastitas pertumbuhan konsumsi listrik yakni pertumbuhan konsumsi listrik lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi yakni setidaknya sebesar 1,1 persen hingga 1,2 persen. Namun, dalam kenyataannya, pertumbuhan penjualan listrik PLN justru berkontraksi yakni berada dibawah pertumbuhan ekonomi. 

Berdasarkan catatan Bisnis, dua pembangkit besar yang seharusnya masuk pada sistem kelistrikan di Indonesia adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Jawa-7 dan PLTU Jawa-8 yang masing-masing berkapasitas 1.000 MW. Kedua proyek tersebut telah selesai melakukan konstruksi tetapi hingga saat ini belum juga COD dan masuk ke dalam sistem kelistrikan.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani mengatakan hingga saat ini sebagian besar pembangkit megaproyek 35.000 MW sedang masuk tahap konstruksi. Sebagian besar pembangkit tersebut akan melakukan COD pada 2023. 

Pada tahun ini akan masuk dua pembangkit baru yakni PLTU Jawa-7 dan PLTU Jawa-8 dengan kapasitas total 2.000 MW. Saat ini kedua pembangkit tersebut sedang melakukan commisiong test dan kemungkinan bisa melakukan COD pada Desember 2019 atau mundur dari target awal yang pada Oktober 2019. 

Menurutnya, mundurnya target COD kedua pembangkit tersebut tidak memiliki kaitan dengan demand. "Tidak ada masalah karena transmisi juga sudah, soal demand wong ini pembangkit murah," katanya. 

Pada 2020, akan ada tambahan 5.000 MW pembangkit yang beroperasi. Jumlahnya akan terus menambah hingga 2023. Keseluruhan pembangkit 35.000 MW baru akan rampung total pada 2024.  "2023 [paling banyak beroperasi] tetapi itu hampir sama mulainya dengan yang beroperasi 2020, 2021, 2022, dan 2023, karena pembangkit besar-besar dan melakukan PPA [power purchase agrement] pada 2017," katanya. 

Sripeni mengakui demand atau kebutuhan listrik menjadi salah satu konsern PLN apabila nantinya seluruh pembangkit 35.000 MW beroperasi. Pasalnya, tanpa didukung dengan demand yang akan menyerap semua listrik yang diproduksi pembangkit tersebut, PLN akan mengalami permasalahan keuangan. 

Menurutnya, lantaran hal tersebut PLN masih mereview perencanaan 2 persen pembangkit megaproyek 35.000 yang berkapasitas 734 MW untuk dikerjakan atau menyesuaikan dengan kondisi kebuituhan listrik setiap daerah. 

Penyesuaian perencanaan pembangkit tersebut dituangkan dalam penyusunan Rencana USaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2020 - 2029. 

"Kita membangun terus tidak ada demand padahal ada cost of fund. tadi 2 persen masih review, disesuaikan kembali kita lihat," katanya.  Menurutnya, pengerjaan pembangkit megaproyek 35.000 MW sejauh ini tidak mengalami kendala, Sebaliknya, permasalahan justru terjadi pada pembangunan transmisi. Padahal, tanpa transmisi, lisrik yang diproduksi pembangkit tersebut tidak mampu sampai ke konsumen. 

Pasalnya, pengerjaan pembangkit lebih cepat dibandingkan transmisi yang terkendala pada tahap pembangunan. Kendala yang ditemui yakni mulai dari kesiapan kontraktor berupa jumlah tenaga kerja di lapangan maupun keuangan. 

Hingga Oktober 2019, realisasi pembangunan transmisi untuk megaproyek 35.000 MW sepanjang 19.149,8 kilometer sirkuit (kms) atau 40 persen dari perencanaan. Sisanya, sebanyak 32 persen atau 15.319,2 MW sedang tahap konstruksi, dan 28 persen atau 13.177,0 MW masuk tahap pra konstruksi. 

"Kadang-kadang di atas kertas mereka memiliki kemampuan tenaga kerja, tetapi di lapangan tersoak, kontraktor berguguran," katanya. 

Ketua Komisi VIII Dari Fraksi Nasdem Sugeng Suparwoto mengatakan PLN perlu menyampaikan roadmap progress pembangunan megaproyek 35.000 MW per wilayah yang telah melakukan COD., masih konstruksi, maupun terkendala paling lambat 2 Desember 2019.

 

 

Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menilai banyak hal yang menjadi kendala pengembang dalam mengerjakan pembangkitan dalam megaproyek 35.000 MW. Kendala tersebut mulai dari tarif yang tidak menarik, aturan mengenai lokal konten, skema t skema bangun, miliki, operasikan, dan alihkan atau build, own, operate, transfer (BOOT) yang tidak menguntungkan, hingga perjanjian jual beli listrik yang berisikan force majeur clause.

"Kami masih berharap pemerintah terus melakukan pembenahan dan perbaikan ke depannya," katanya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus