Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mereka menunggu runtuhnya OPEC

Arab Saudi dituduh berambisi menghantam Iran, masih bertahan pada harga patokan, meskipun 4 perusahaan AS mendesak agar arab menurunkan harga minyaknya. (eb)

12 Februari 1983 | 00.00 WIB

Mereka menunggu runtuhnya OPEC
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BANYAK mata kini tertuju ke Ryadh, ibukota Arab Saudi, sejak organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) gagal mencapai konsensus di Jenewa dua pekan silam. Banyak yang khawatir bahwa Arab Saudi akhirnya akan melaksanakan ancamannya untuk menurunkan harga patokan minyak OPEC, jenis Arabian Light Crude (ALC) dari US$ 34 menjadi US$ 30 per barrel. "Kalau saja itu terjadi, tak satu pun eksportir minyak yang mampu mempertahankan harga kontraknya, tidak pula Indonesia," kata seorang pejabat minyak di Jakarta pekan silam. Penurunan sebanyak itu, paling tidak akan menekan harga ekspor minyak Indonesia yang rata-rata kini dipasang dengan US$ 34 per barrel, berkurang dengan US$ 2 per barrel. Tak pelak lagi itu akan amat mempengaruhi RAPBN 1983/1984 penerimaan dari minyak didasarkan pada harga ekspor rata-rata US$ 34 per barrel dengan produksi sehari rata-rata 1,4 juta barrel (lihat box). Adalah Arab Saudi yang rupanya dianggap sebagai biang keladi kegagalan sidang OPEC di Jenewa. Itu terjadi ketika dalam sidang dua hari (23-24 Januari), yang seluruhnya hanya berlangsung 11 jam, Sheik Zaki Yamani bersikeras agar masalah diferensial harga ikut dibicarakan, suatu hal yang sebetulnya di luar agenda. Diferensial harga -- rumusan harga untuk setiap jenis minyak OPEC, berdasarkan perbedaan mutu, dan lokasi geografis ke tempat-tempat pemasaran -- rupanya dianggap penting betul oleh Zaki Yamani. Ia menilai diferensial yang ditetapkan oleh Nigeria untuk, misalnya, bonny crude, minyak berkualitas tinggi, seharusnya adalah US$ 3,50 per barrel di atas jenis ALC, dan bukan US$ 1,50 seperti berlaku sekarang. Menjual bonny light US$ 35,50. per barrel, menurut Menteri Perminyakan Arab Saudi, sama saja dengan melakukan potongan harga. Pengurangan diferensial itu juga dilakukan oleh Libya dan Aljazair, ketika pasaran minyak mulai melembek. Mengingat tempat penjualan ketiga kelompok Afrika Utara itu adalah terutama Eropa, dan mereka harus bersaing dengan minyak North Sea yan diproduksi oleh Inggris dan Norwegia, ketiga anggota OPEC itu tak melihat jalan lain kecuali menurunkan diferensial mereka. Banyak anggota delegasi OPEC yang merasa bingung melihat lakon yang dibawakan oleh Sheik Yamani di Jenewa. Sebab, ketika delapan anggota OPEC bersidang di Bahrain, seminggu sebelum berkumpul di Jenewa, mereka bersepakat untuk membicarakan satu hal penting di Jenewa kuota produksi. "Kami datang ke Jenewa untuk menyelesaikan masalah kuota," kata Ketua OPEC Yahaya Dikko dari Nigeria. "Kami memang mengusulkan kepada Arab Saudi dan Kuwait agar masalah diferensial harga yang penting itu juga dibicarakan, tapi hendaknya itu dilakukan dalam kesempatan yang lain." Pertemuan tingkat menteri di Bahrain itu dihadiri oleh Arab Saudi, Kuwait, Persatuan Emirat Arab, Indonesia Irak, Nigeria dan Libya, dan dua negara bukan OPEC, yakni Oman dan Bahrain sendiri. Dengan tekad itu pula kedelapan anggota OPEC tadi berkumpul di Jenewa, seakan-akan siap untuk menghadapi anggota yang biasanya dianggap paling rewel Iran, dan belakangan ini juga Venezuela. Namun di luar dugaan banyak anggota, sidang yang dimulai Minggu 23 Januari berjalan lancar. Mereka bersepakat untuk mengembalikan produksi total OPEC dalam batas-baus yang dianggap lebih masuk akal: antara 17 sampai 17,5 juta barrel per hari. Mohammad Gharazi dari Iran bahkan tak keberatan untuk menurunkan produksi mereka yang dianggap berlebihan, dan berjanji akan meniadakan beberapa potongan harga. Juga Humberto Calderon Berti dari Venezuela tak lagi ngotot minta jatah 1,9 juta barrel, tapi sudah cukup puas kalau diberi antara 1,7-1,8 juta barrel sehari. Karuan saja banyak anggota sidang menjadi heran ketika Menteri Yamani -- yang tak bisa lain mendapat dukungan dari Kuwait dan Persatuan Emirat Arab -- seakan membuat suasana yang baik itu menjadi mentah kembali, karena mendesak agar masalah harga diferensial dibicarakan sekarang juga. Ketika banyak anggota menolak permintaannya, secara agak demonstratif senior OPEC itu keluar dari ruang sidang, diikuti para pendampingnya dan dua bodyguard berkebangsaan Inggris yang selalu melindungi Menteri Yamani ke mana pun ia pergi. Pada saat yang gawat itu pula, seperti dilaporkan oleh Youssef M. Ibrahim dari The Wall Street Journal, Menteri Perminyakan Aljazair Belkacim Nabi menghampiri Sheik Yamani. Kedua menteri minyak itu nampak berbisik-bisik sebentar. Tapi di luar dugaan, imbauan Belkacim Nabi itu pula yang membuat menteri perminyakan Arab Saudi naik pitam. "Anda ini mengira saya apa?" teriaknya. Dalam bahasa Arab bercampur Inggris, Yamani, menurut beberapa anggota delegasi yang menyaksikan kejadian itu, kemudian berkata "Saya ini orang gurun pasir, dan tak seorang pun akan saya biarkan menertawakan jenggotku." Suatu kiasan Arab yang artinya, "Siapa pun tak akan bisa mengibuli saya." Baru beberapa saat kemudian diketahui bahwa yang dibisikkan Belkacim Nabi adalah menyangkut diferensial harga itu. Mengingat jalannya sidang sudah begitu baik, maka ia dan anggota yang lain beranggapan bahwa masalah diferensial harga itu bisa dibicarakan di waktu lain. Banyak juga yang beranggapan amarah Yamani itu dibuat-buat. Ketika OPEC bersidang di Wina pertengahan Desember lalu, ia tak mengutik-ngutik soal diferensial itu, karena agaknya sudah mengetahui sidang akan gagal mencapai konsensus untuk menetapkan kuota produksi. Tapi sekarang, ketika sidang berjalan lancar, dan Iran yang dianggap sebagai tukang bikin ribut diluar dugaan menunjukkan sikap yang positif, Arab Saudi membuat sidang menjadi berantakan. Alkisah, seorang anggota delegasi beranggapan, Arab Saudi memang sengaja ingin menggagalkan sidang, di balik argumentasi ekonomi yang selalu mereka kemukakan. "Permainan itu kentara letul. Mereka ingin menggagalkan sidang, tapi cara yang mereka pertontonkan mirip sebuah film picisan, dan kami semua mengetahui itu," kata anggota delegasi tadi. Kalau benar demikian, apa yang menjadi sasaran dari drama Yamani? "Mereka sebenarnya ingin menghantam Iran," kata seorang pengamat OPEC di Jakarta. "Kalau Arab Saudi dan negara-negara Teluk yang lain mengatakan mereka ingin memberi pelajaran pada kelompok Afrika Utara (agar tidak melakukan potongan harga atau diferensial), yang sebenarnya ingin mereka pukul adalah Iran." Iran diam-diam agaknya mulai mendapat angin di mata para pembelinya. Tadinya Iran sengaja melakukan siasat pemotongan harga dengan US$ 4 per barrel untuk jenis Iranian Light, dan bahkan berani menanggung biaya pengangkutan selama perjalanan, karena kekhawatiran para pembeli bahwa tanker-tanker yang mengangkut minyak akan ditenggelamkan oleh pesawat-pesawat Irak selama berpangkalan di dermaga minyak Pulau Kharg. Tapi kemudian ternyata Irak, yang konon mendapat bantuan biaya dan persenjataan dari Arab Saudi, tak juga berhasil untuk menghancurkan Kharg, terminal minyak terbesar di Iran. Semua pesanan minyak dari Iran pun selama ini sampai dengan selamat, kendati mereka harus mengapalkannya sampai di Jepang. Kegagalan Irak telah menimbulkan perasaan makin mantap bagi Iran. Dengan produksi yang kini sekitar 3 juta barrel sehari, dan ekspor sekitar 2,5 juta barrel, Iran rupanya ingin mengembalikan wibawa mereka sebagai eksportir minyak yang bonafide Itu pula agaknya yang membuat Iran merasa di atas angin, sehingga Menteri Perminyakan Mohammad Gharazi tak merasa perlu untuk pentang bacot lagi di Jenewa. Sikap Arab Saudi, seperti dibawakan oleh Sheik Zaki Yamani, agaknya memang terasa aneh. Dengan menuding kelompok Afrika Utara masih suka main potong harga minyak, Arab Saudi dan negara-negara Teluk, seperti disampaikan oleh Menteri Perminyakan Kuwait Sheik Ali Khalifa Al-Sabah, ingin membuat penyembuhan mendadak (shocktherapy). Caranya: akan menurunkan harga patokan minyak OPEC (jenis ALC itu), dengan 4 atau paling tidak 2 dollar per barrel. Hanya dengan cara itu, menurut mereka, permintaan akan meningkat, dan harga akan stabil kembali. JALAN pikiran seperti itu memang akan membuat senang dunia industri di negara-negara maju, dan para pembeli BBM, seperti pemilik mobil dan perusahaan pesawat terbang. Tapi bagi para anggota OPEC yang kini mengalami kesulitan untuk membiayai pembangunannya, dan terutama yang sarat penduduknya seperti Indonesia, dan Nigeria -- termasuk yang non-OPEC seperti Meksiko, dan Malaysia -- penurunan harga resmi minyak itu akan membawa akibat yang cukup parah. Tapi betulkah Arab Saudi akan segera menembakkan senjata minyaknya? Itulah yang dikhawatirkan banyak pihak. Tekanan-tekanan agar Arab Saudi menurunkan harga patokan minyak ALC, yang berasal dari ladang minyak Ras Tanura, cukup gencar dilakukan oleh empat raksasa minyak yang beroperasi dalam perusahaan minyak Aramco di Arab Saudi. Hatta, dalam suatu jamuan makan malam di kamar suite Menteri Yamani di Hotel Inter-Continental di Jenewa, awal Januari yang dingin, keempat tamunya itu kembali mendesak agar Arab Saudi segera menurunkan harga minyaknya. Mereka terdiri dari George Keller, Dirut dari Standard Oil of California, Clifton Garvin Jr., Dirut perusahaan Exxon, William Tevoulareas, Presiden Mobil oil, dan John McKinley, Dirut perusahaan minyak Texaco. Seperti dilaporkan majalah Newsweek 7 Februari lalu, adalah empat eksekutif minyak itu yang lebih banyak menguasai pembicaraan ketimbang tuan rumah Yamani. "Kami bisa hidup dengan harga minyak yang US$ 30," kata Keller dari Socal. "Kami juga bisa hidup dengan harga yang US$ 34. Tapi kami tak bisa hidup kalau harus terus membayari dengan US$ 34 untuk minyak yang berharga US$ 30." Yamani diberitakan tak bisa bicara banyak. Tapi ada pendapat, sikapnya yang aneh dalam sidang darurat OPEC di Jenewa itu lebih disebabkan tekanan-tekanan yang datang bertubi-tubi dari empat raksasa minyak Amerika itu, daripada ambisinya yang ingin menghantam Iran. Ada benarnya. Empat perusahaan minyak yang tergabung dalam Aramco sudah sejak beberapa bulan lalu merasa tak senang melihat Arab Saudi terus saja bertahan pada harga patokan yang 34 dollar itu. Padahal di pasaran spot (tunai) satu barrel ALC belakangan ini mereka jual dengan harga di bawah US$ 27,50. Kalau saja harga minyak di pasaran spot masih dipakai sebagai indikator harga kontrak, maka perbedaan harga itu cukup menjadi alasan untuk menyesuaikan harga resmi ALC. Tapi sampai awal pekan ini Ryadh belum terdengar menarik pelatuk senjata minyaknya. Demikian juga para anggota yang tergabung dalam Dewan Negara-negara Teluk (GCC) di samping Arab Saudi -- Kuwait, Persatuan Emirat Arab, Qatar, Oman dan Bahrain -- secara terpisah belum lagi menurunkan harga resmi minyak mereka. Begitu pula London sampai awal minggu ini masih mempertahankan harga ekspor minyak North Sea mereka dengan US$ 33,50. Dua minggu lalu, seusai sidang OPEC yang berakhir pahit di Jenewa, Sheik Yamani dalam konperensi persnya menduga, adalah Inggris yang akan memulai penurunan harga itu. Namun dugaan Yamani -- yang mungkin saja ia harapkan --ternyata meleset. Inggris, yang perekonomiannya boleh dibilang terapung di atas dana minyak, agaknya tak ingin berperan sebagai pelopor turunnya harga. Kalau itu sampai terjadi, bisa dipastikan akan segera diikuti oleh yang lain, termasuk kelompok GCC. Babak baru dalam pasaran minyak pun dimulai perang harga. Berbagai tulisan di surat kabar luar negeri ramai meramalkan bahwa harga-harga minyak dan OPEC sebentar lagi bakal runtuh. Namun ada juga yang melihat lain. James Tanner, kini memimpin buletin minyak Petroleum Information International yang bermarkas di Houston, Texas, "tak percaya akan teori-teori yang meramalkan runtuhnya OPEC maupun harga minyak." Analis senior perminyakan yang mengenal betul lika-liku sidang OPEC, berpendapat bahwa organisasi itu sedikit banyak telah berhasil mengatasi suasana banjir minyak (glut) dibandingkan keadaan tahun lalu. Sekalipun itu dilakukan OPEC dengan jalan membatasi produksi total mereka menjadi sekitar 17,5 juta barrel sehari. Menurut Tanner, perbedaan yang menyolok antara sekarang dan setahun lalu, adalah merosotnya persediaan minyak yang dimiliki perusahaan-perusahaan minyak asing. Kalau permintaan akan meningkat dengan sekitar 2 juta barrel sehari dalam kuartal ketiga tahun ini -- dengan asumsi keadaan ekonomi dunia mulai membaik ketika itu -- maka OPEC pun akan tertolong. Dan OPEC "harus bisa mengatasi kesulitan mereka dari sekarang sampai mulai pulihnya keadaan ekonomi dunia," demikian Tanner seperti dikutip koran International Herald Tribune, awal pekan ini. Sampai seberapa jauh OPEC akan mampu bertahan, terpulang pada kesediaan Arab Saudi jua. Kalau saja Arab Saudi bersama anggota GCC yang lain tetap tak bersedia memulai pemotongan harga resmi itu -- yang ditaksir akan mencapai sekitar 3 dollar -- masih terbuka jalan bagi OPEC untuk berkumpul lagi di Jenewa ataupun di markas besarnya di Wina. Sheik Ahmad Zaki Yamani, laki-laki gurun pasir yang berjenggot rapi itu, tentu tak ingin dituding oleh rekan-rekannya sebagai biang hancurnya harga minyak dan OPEC.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus