Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panasonic Corporation kini siap-siap menawarkan produk baru yang murah. ”Kami akan mengubah cara pikir untuk membuat produk-produk itu,” kata Hitoshi Otsuki, 62 tahun, yang bertanggung jawab atas penjualan produk Jepang itu di luar negeri, dua pekan lalu.
Selama ini Panasonic dikenal menawarkan peralatan elektronik high-end. Di Eropa dan Amerika, harga televisi plasmanya bisa mencapai US$ 1.200 atau sekitar Rp 12 juta untuk ukuran terkecil dan lemari pendingin berteknologi nanonya bahkan bisa sampai US$ 3.000 (Rp 30 juta). Karena itulah jangkauan pasarnya terbatas.
Agar penjualannya meningkat, seperti dilaporkan Wall Street Journal, mulai Oktober mendatang, mereka akan meluncurkan barang elektronik untuk kelompok pembeli menengah ke bawah. Artinya akan ada, misalnya, televisi seharga US$ 50 (Rp 500 ribu), penyejuk udara US$ 100 (Rp 1 juta), atau mesin cuci US$ 200 (Rp 2 juta).
Barang-barang ini akan dijual di negara yang pasarnya masih terus berkembang, seperti Brasil, Rusia, India, Cina, Vietnam, Meksiko, Nigeria, dan Turki, termasuk Indonesia. Targetnya, pada 2013, negara-negara itu menjadi pasar terbesar Panasonic, menggantikan Amerika Utara dan Eropa.
Nah, menurut Otsuki, ini akan mereka lakukan dengan mengurangi feature pada model-model lama. Dengan membuat produk lebih sederhana, Panasonic yakin bisa mengurangi biaya pekerja, material, serta seluruh biaya riset dan pengembangan.
Misalnya, kulkas yang dalam model Jepang memiliki empat pintu akan dibuat jadi hanya berpintu satu. Dengan demikian, proses pembuatannya jadi lebih sederhana dan murah. Mereka juga akan melakukan riset lifestyle yang didukung tim pemasaran di tiap-tiap negara untuk menghasilkan desain produk yang spesifik.
Tapi banyak pengamat meragukan rencana ini, terutama apakah Panasonic mampu berhadapan dengan merek lokal yang jauh lebih murah. Apalagi perusahaan Korea seperti Samsung dan LG sudah lama menggarap pasar ”bawah”. Samsung, misalnya, kini menjual mesin cuci otomatis seharga US$ 220 di India. ”Mereka akan rugi besar sebelum bisa untung,” kata David Gibson, analis dari Macquarie Securities, Jepang.
Philipus Parera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo