Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, menilai utang terbaru Indonesia sebesar US$ 1,5 miliar dari Asian Development Bank (ADB) merupakan pilihan yang tepat. Menurut dia, utang ini malah diperlukan agar Bank Indonesia (BI) tidak mencetak uang yang justru dapat memperparah keadaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Selama masih bisa dari pasar atau OI (Obligasi Internasional) mendingan dari sana. Dan kita memang butuh untuk menambal defisit,” kata Yose saat dihubungi di Jakarta, Jumat, 24 April 2020.
Sehari sebelumnya, ADB telah mengumumkan persetujuan utang US$ 1,5 miliar ini untuk mendukung upaya Indonesia menanggulangi Covid-19. “Covid-19 menyebabkan dampak kesehatan, sosial, dan ekonomi yang sangat berat di Indonesia,” kata Presiden ADB Masatsugu Asakawa melalui siaran pers Kamis 23 April 2020.
Asakawa mengharapkan, dukungan anggaran yang diberikan dapat membantu Indonesia untuk mengatasi tantangan pandemi dengan tetap fokus menguatkan kelompok miskin, dan rentan termasuk perempuan. Adapun utang ini berasal dari opsi respons pandemi Covid-19 oleh ADB untuk negara berkembang yang jumlahnya US$ 20 miliar.
Yose menambahkan, utang saat ini memang diperlukan karena banyak sekali peran yang harus diambil pemerintah. Mulai dari peningkatan fasilitas kesehatan, mengurangi dampak ekonomi dan sosial, hingga stimulus ekonomi.
Sementara itu, kata dia, Indonesia sebenarnya masih termasuk konservatif dengan hanya menaikkan anggaran 2,5 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang digunakan untuk Covid-19. Di negara lain, angkanya jauh lebih tinggi. 10 persen di Amerika Serikat dan 18 persen di Australia. “Jadi peningkatan utang adalah kewajaran untuk menutup defisit,” ujarnya.
Di sisi lain, jumlah US$ 1,5 miliar yang bisa didapatkan Indonesia ini dinilai cukup baik. Sebab, kata Yose, banyak negara berkembang yang masih kesulitan untuk mendapatkan utang.
Memang, ada konsekuensi ekonomi di baliknya. Defisit anggaran sebesar Rp 853 triliun yang dipatok pemerintah akan berkorelasi dengan defisit neraca berjalan. Akan menjadi masalah jika defisit neraca berjalan memicu depresiasi karena pasar melihat ini tidak favorable. Jika depresiasi tidak terkendali, krisis akan merembet ke berbagai aspek ekonomi lain, seperti pasar keuangan dan perbankan.
Sehingga dalam situasi ini, Yose meminta kebijakan moneter untuk terus dilakukan secara prudent. Inflasi dan likuiditas perbankan harus terjaga. Itu sebabnya juga, Yose menilai sebaiknya bukan BI yang memberi surat utang negara, meski kini telah diperbolehkan. “Agar kepercayaan pasar dapat terjaga,” kata dia.
Terakhir, Yose pun menilai masih ada alternatif lain yang bisa dijalankan untuk menutupi defisit, selain mencetak utang. Alternatif tersebut yaitu menunda berbagai proyek infrastruktur kurang penting. “Ini kelihatannya belum dijalankan secara optimal. Walaupun pelaksanaan berhenti, anggaran belum dialihkan,” kata dia.
FAJAR PEBRIANTO