Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INSTRUKSI Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro, 5
Juli lalu yang menghentikan sementara waktu Surat Persetujuan
Ekspor Kopi (SPEK) ternyata menimbulkan reaksi yang tidak
sebentar. Para eksportir kopi mau pun petani sama-sama mengeluh.
Pasaran kopi pun lesu dan sepi. Di Padang harga melorot dengan
cepat dari tadinya (5 Juli) Rp 1800 turun menjadi Rp 1400 per kg
pekan lalu. Di Lampung kopi asalan anjlok dari Rp 1700 menjadi
Rp 1300. Sedang para tengkulak membelinya dari petani hanya Rp
1100 per kg. Di Takengon, Aceh Tengah yang dikenal sebagai
produsen utama kopi di Sumatera Utara dan Aceh harganya pun
jatuh.
Sebelum instruksi 5 Juli keluar, kopi asalan jenis Arabika
mantap bertahan Rp 2200 sekilo. Tapi sesudah 5 hari jenis
Arabika ini jatuh menjadi Rp 1800 per kg. Diperkirakan harga ini
akan terus merosot karena para pedagang banyak yang tidak
menampakkan batang hidungnya. Bahkan di Padang tak kurang 1000
buruh sortasi di gudang-gudang kopi sepanjang Pasar Cedang dan
Pasar Batipuh terancam akan kehilangan pekerjaannya. Pengurangan
tukang sortir kopi harian yang mendapat upah Rp 450 per hari
mulai dilakukan sebagian eksportir kopi. "Jika keadaan begini
terus berlangsung 1000 buruh itu pun terpaksa dirumahkan, kata
Jaswir Luwis, Sekretaris Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia
(GPEI) Cabang Padang.
Semuanya itu terjadi menyusul "instruksi 5 Juli" yang oleh
Menteri Radius dimaksudkan untuk mengadakan inventarisasi
alokasi (jatah) ekspor kopi dan realisasi ekspornya. Dan langkah
ini ditempuh Menperdagkop dengan alasan: "Untuk mencukupi
kebutuhan dalam negeri menghadapi hari-hari besar, sedang harga
kopi di pasaran luar negeri sekarang ini kurang menguntungkan."
Tapi awal minggu ini dalam wawancaranya dengan Kompas, Radius
mengakui harga kopi di luar negeri cukup baik," karena akibat
"Kenop-15 yang merangsang para eksportir."
Harga Merosot
Namun kekhawatiran Radius memang beralasan. Selama 5-6 bulan
1979 ini realisasi ekspor kopi Indonesia telah mencapai 120.000
ton. Padahal panen raya\kopi di Indonesia belum mulai, sehingga
Deperdagkop merasa perlu mengambil langkah untuk mengerem ekspor
kopi itu. Bila kebutuhan dalam negeri diabaikan dikhawatirkan
konsumen akan harus membeli kopi lebih mahal. Ekspor kopi
Indonesia memang meningkat dalam beberapa tahun belakangan. Dari
128.800 ton pada 1975 menjadi 215.000 ton pada 1978.
Para eksportir memang mengakui harga kopi di pasaran dunia
sekarang cenderung merosot. Misalnya kopi Robusta kwalitas EK-I
turun dari $ 3,75 per kg menjadi $ 3,40 per kg C & F Amerika.
Menurunnya harga kopi di pasaran dunia itu karena ulah Brazilia,
produsen utama kopi dunia. Untuk meningkatkan devisanya, Brazil
kabarnya melemparkan stok kopinya secara besar-besaran,
menaikkan hara patokan ekspor kopi dan meningkatkan pajak
ekspornya. Produksi kopi Brazil pernah terpukul akibat serangan
angin beku (Frost) 2 tahun lalu. Namun tahun lalu keadaan
perkopiannya sudah pulih kembali. Dan sampai pertengahan Juli
ini tidak ada tanda kebun kopi Brazil bakal kena serangan angin
beku. Ini berarti Brazil mengalami panen besar yang membuat
harga merosot. Ketika serangan angin beku menghan tam kopi
Brazil pada 1977 harga kopi pernah mencapai $ 6 per kg, sedang
sebelumnya hanya sekitar $ 3,15 per kg.
Maka alasan yang dikemukakan Radius untuk menangguhkan SPEK oleh
sejumlah eksportir di Padang diangap kurang meyakinkan. Mereka
melihat kecenderungan penurunan harga di luar negeri itu sudah
berlangsung lama. Begitu juga soal pemasaran dan kebutuhan
dalam negeri, seperti menghadapi bulan puasa, lebaran, 17
Agustus. "Soal inventarisasi bisa dijalankan sambil jalan.
Sedang kebutuhan lokal, misalnya Sumatera Barat hanya 20% dari
total produksi setempat yang berJumlah sekitar 11.000 ton
setahun," tutur Jaswir kepada Muchlis Sulin dari TEMPO. "Para
eksportir mengalami berba kesulitan," kata Arifin Afendi dari
Natraco. "Perputaran modal jadi macet, sedang bunga bank musti
dibayar," katanya.
Korban yang paling menderita tampaknya petani kopi di pedalaman.
"Mau disimpan ke mana, padahal makan sehari-hari kami dari
penjualan kopi," kata seorang petani kopi Muara Labuh yang
terpaksa menjual murah kopinya di Pasar Gedang, Padang. Tapi
pekan lalu di Jakarta Menteri Radius tidak percaya petani kopi
yang paling dirugikan akibat instruksinya itu. Penurunan harga
menurut Radius tidak terjadi di tingkat petani, tapi di tingkat
pedagang perantara. "Hingga sebenarnya petani tidak dirugikan,
karena mereka juga menjual kopinya sedikit-sedikit," ujarnya.
Kebingungan ataupun kekecewaan kelihatannya tidak saja dialami
para eksportir dan petani kopi di kawasan Sumatera Barat, tapi
juga di Aceh. "Kita sudah punya jadwal pengapalan, tahu-tahu
SPEK ditangguhkan," ucap Juned Usman dari Perusahaan Dagang
Sepakat kepada Darmansyah dari TEMPO Juned punya alokasi ekspor
60 ton kopi untuk diekspor tiap kwartal. Untuk itu ia
menggunakan fasilitas pelabuhan Belawan, Medan. "Saya
betul-betul kecewa. Barang terkumpul SPEK ditangguhkan,"
katanya. Seperti halnya di Sumatera Barat yang merasa paling
dirugikan adalah para petani sendiri. "Ribuan petani kopi di
Aceh Tengah terpaksa menjual kopinya dengan harga murah," kata
Bupati Beni Bantacut. Bupati Aceh Tengah ini cemas melihat nasib
petani menjadi tak menentu. Namun ia percaya bila pedagang
perantara alias para tengkulak dan petani bisa menahan diri
kejatuhan harga yang tajam dan berlarut-larut bisa dihindari.
"Sulitnya, para pedagang itu tidak mau mengerti. Mereka selalu
mencari untung besar, menimbun, dengan memanfaatkan situasi,"
ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo