Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penggabungan usaha berpotensi membebani Hutama Karya.
Waskita Karya memiliki utang sebesar Rp 84,31 triliun.
Peran Waskita Karya berubah menjadi kontraktor.
JAKARTA — Rencana Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melakukan pengalihan atau inbreng saham PT Waskita Karya (Persero) Tbk kepada PT Hutama Karya (Persero) dinilai bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan keuangan BUMN karya. Opsi ini diyakini berpotensi menimbulkan masalah baru yang dapat merugikan Hutama Karya sebagai induk usaha setelah merger dan akuisisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Riset Praus Capital, Alfred Nainggolan, menuturkan konsolidasi yang dilakukan antara satu perusahaan dan perusahaan lainnya biasanya bertujuan meningkatkan efektivitas serta efisiensi struktur organisasi maupun sumber daya manusia (SDM). Namun, sebelum melakukan konsolidasi, idealnya masing-masing entitas memiliki kinerja yang sehat agar tak berdampak negatif pada kinerja entitas lainnya. “Inbreng dapat membuat nilai atau performa kinerja keuangan Hutama Karya kian turun,” ujarnya, kemarin.
Waskita di sisi lain diproyeksikan membutuhkan modal kerja yang besar untuk kembali bangkit. Inbreng dinilai sebagai upaya untuk mengeluarkan status BUMN Waskita Karya menjadi anak usaha BUMN sehingga perseroan dapat memperoleh pendanaan dengan menggunakan buku atau portofolio pinjaman milik Hutama Karya sebagai induk. Dengan demikian, inbreng bakal membuat rasio utang dan beban keuangan Hutama Karya meningkat secara konsolidasi.
Baca juga: Gelagat Curang Memoles Kinerja
Sebagaimana diketahui, hingga saat ini Waskita masih mengalami kerugian yang signifikan dengan nilai utang dan liabilitas atau kewajiban yang juga besar. Merujuk pada laporan keuangan perseroan hingga semester I 2023, Waskita memiliki utang terbesar dibanding BUMN karya lainnya, yaitu sebesar Rp 84,31 triliun.
Kondisi keuangan Hutama Karya tak jauh berbeda dengan Waskita Karya. Sepanjang 2022, Hutama Karya mencatatkan laba usaha sebesar Rp 2,33 triliun dengan beban keuangan Rp 3,1 triliun dan menghasilkan rugi berjalan sebesar Rp 1,44 triliun. Namun rasio utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio (DER) Hutama Karya masih sebesar 0,84 kali pada 2022, lebih rendah dibanding Waskita yang sebesar 5,9 kali.
Perubahan Peran Waskita Karya
Gambar udara proyek MRT Fase 2 CP203 Stasiun Glodok yang merupakan salah satu proyek Hutama Karya di Jakarta, 2 Maret 2022. TEMPO/Subekti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, menilai inbreng saham bisa menjadi solusi yang relevan untuk diterapkan kepada Waskita Karya. Rencana akuisisi oleh Hutama Karya dapat membuat beban perseroan menjadi lebih ringan karena berbagi dengan perusahaan induk. “Dalam konteks ini, Waskita bisa difokuskan pada aspek operasional saja, sedangkan cetak biru bisnis dikendalikan oleh Hutama Karya sebagai induk,” ujar dia.
Solusi itu, ucap Toto, sejalan dengan keputusan suntikan penyertaan modal negara (PMN) kepada Hutama Karya untuk menyelesaikan pembangunan enam ruas jalan tol trans Sumatera. Skenario restrukturisasi utang Waskita Karya pun dapat diselaraskan dengan pemberian PMN. “Jika masalah likuiditas sudah bisa teratasi, Waskita ke depan bisa berfokus pada fungsi kontraktor saja untuk penyelesaian proyek.”
Baca juga: Korupsi Berjemaah Proyek Fiktif
Toto mengimbuhkan, langkah konsolidasi dua BUMN karya ini dapat menjadi alternatif untuk mengerek daya saing kedua entitas. Terlebih, inbreng juga akan meningkatkan aset dan ekuitas Hutama Karya sehingga memiliki posisi yang memadai dan kredibel untuk melakukan negosiasi dengan kreditor serta investor dalam upaya penyehatan Waskita.
“Dalam jangka pendek, restrukturisasi utang perlu menjadi prioritas, kesepakatan dengan kreditor harus cepat dilakukan.” Selanjutnya, dalam jangka panjang, Waskita dinilai perlu memperbaiki struktur keuangan dengan meningkatkan jumlah ekuitas supaya terjadi keseimbangan dengan liabilitas atau utang.
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, menilai rencana konsolidasi dua entitas tersebut memiliki risiko yang tinggi dibanding manfaat yang dihasilkan. Dalam kondisi normal, merger dua entitas bisnis yang sama-sama sehat akan menciptakan efisiensi dan nilai tambah baru sebagai hasil sinergi sumber daya yang dimiliki.
“Sebaliknya, ketika entitas bisnis yang sehat dimerger dengan entitas bisnis yang sakit parah akan memiliki dua kemungkinan, Waskita akan bisa disehatkan atau justru Hutama Karya yang akan ikut sakit,” ucapnya. Skenario kedua berpotensi terjadi lantaran merger atau pembentukan holding tidak diikuti perubahan kebijakan dalam penugasan proyek strategis nasional yang masif, tapi mengabaikan tata kelola yang baik.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo