Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto mengklaim bahwa food estate sebagai strategi utama dan satu-satunya jalan menuju ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Pernyataan tersebut Prabowo sampaikan di acara Dialog Capres Bersama Kadin di Jakarta pada Jumat, 12 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun pernyataan diragukan sejumlah pihak karena sejarah proyek lumbung pangan tersebut diwarnai dengan banyak kegagalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan lumbung pangan adalah program lama sejak era Presiden Soeharto. Saat itu, proyek ini terbukti gagal. Selanjutnya di era Presiden Joko Widodo, proyek tersebut kembali dilakukan dengan nama yang berbeda, food estate. Proyek food estate yang dijalankan di era Jokowi juga tidak berhasil, kembali mengulang kegagalan di masa lalu.
"Kalau kita baca hasil audit BPK, food estate yang dikembangkan sejak pertengahan 2020 sudah salah sejak perencanaan," kata Khudori ketika dihubungi Tempo pada Sabtu, 13 Januari 2023. Walhasil, perencanaan yang salah itu berbuntut pada pelaksanaan yang salah pula. "Jadi, sepertinya memang tidak didahului evaluasi."
Menurut Khudori, pemerintah terlalu buru-buru menggarap proyek food estate. Padahal, mestinya proyek ini perlu diawali kajian mendalam. Dengan begitu, hasilnya bisa lebih optimal dan tidak hanya membuang waktu maupun anggaran.
Berkaca dari lahan food estate di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, misalnya. Khudori mengatakan pemilihan area tersebut patut dipertanyakan sejak awal. "Lahan itu pasir kuarsa yang sangat miskin, tidak subur. Kok, dibuka di situ? Kan, aneh," ujarnya.
Lahan di luar Jawa, kata Khudori, memang cenderung lebih dari subur. Namun, bukan berarti bisa memaksakan menggunakan lahan pasir kuarsa untuk food estate.
"Kalau Kementerian Pertahanan beralasan itu yang dialokasikan Kementerian Lingkungan Hidup, mengapa diterima kalau tidak cocok?" ujar Khudori. "Sekarang lahan sudah dibuka, hutan dibuka, tapi tidak ada hasilnya."
Sebenarnya, menurut Khudori, food estate bagus secara konsep karena proyek ini akan mendistribusikan basis produksi pangan yang selama ini terkonsentrasi di Jawa. Namun, ia mengatakan pelaksanaan food estate tidak bisa dilakukan serampangan. Proyek ini tidak bisa sukses jika pemerintah hanya mengejar kecepatan. Apalagi lahan-lahan yang digunakan untuk food estate umumnya lahan baru hasil pembukaan hutan dan termasuk kelas 2, 3, hingga 4, secara kesuburan. Padahal untuk membangun lahan sawah yang stabil saja, kata Khudori, butuh waktu 3 hingga 4 tahun.
"Kalau nanti presiden terpilih melanjutkan proyek ini, belum tentu hasilnya bisa dinikmati 5 tahun atau ketika masih menjabat," kata Khudori. "Hasilnya pun belum tentu seproduktif di lahan Jawa yang subur."
RIRI RAHAYU | RIANI SANUSI PUTRI