Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Ramai Tagihan Utang Jusuf Hamka ke Pemerintah, Jubir Sri Mulyani Sebut Nama Tutut Soeharto

Juru Bicara Menteri Keuangan Yustinus Prastowo, kembali menjelaskan pemberitaan yang ramai soal Jusuf Hamka yang menagih utang ke pemerintah.

14 Juni 2023 | 15.13 WIB

Pengusaha Jusuf Hamka (kanan) menjawab pertanyaan wartawan usai melakukan pertemuan dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa, 13 Juni 2023. Pertemuan tersebut dalam rangka membahas polemik utang pemerintah yang belum dibayarkan sebesar Rp179 miliar kepada perusahaan milik Jusuf Hamka yaitu PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. (CMNP). ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Perbesar
Pengusaha Jusuf Hamka (kanan) menjawab pertanyaan wartawan usai melakukan pertemuan dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa, 13 Juni 2023. Pertemuan tersebut dalam rangka membahas polemik utang pemerintah yang belum dibayarkan sebesar Rp179 miliar kepada perusahaan milik Jusuf Hamka yaitu PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. (CMNP). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Juru Bicara Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, kembali menjelaskan pemberitaan yang ramai soal bos jalan tol Jusuf Hamka yang menagih utang ke pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Kami maklum banyak yang masih bingung dengan fakta, kepemilikan perusahaan bisa berganti. Hubungan individu dengan perusahaan juga bisa berubah. Nama Jusuf Hamka menjadi sentral, padahal seharusnya Ibu SHR (Siti Hardijanti Hastuti Soeharto / Tutut Soeharto),” cuit Prastowo lewat akun @prastow, pagi tadi, Rabu, 14 Juni 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Maka, dia melanjutkan, sejak awal pihaknya menghindari penyebutan nama Jusuf Hamka. Alasannya, karena saat kejadian penempatan deposito dan pemberian kredit, yang berkontrak adalah korporasi dan pemilik/ pengurus saat itu yang bertanggung jawab.

“Dokumen-dokumen yang dimiliki BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan Kemenkeu membuktikan itu,” kata Prastowo.

PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP), Prastowo berujar,  pada waktu itu komisaris utamanya Tutut Soeharto yang juga memiliki saham CMNP melalui PT  Citra Lamtoro Gung. Selain itu, Tutut Soeharto merupakan pemegang saham pengendali Bank Yama. Dimana ada 3 entitas milik Tutut Soeharto yang mempunyai utang ke sindikasi bank.

Bank sindikasi ini, menurut dia, mendapat kucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan masuk BPPN. Bank Yama juga menerima BLBI, menjadi pasien BPPN dan menjadi Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Adapun Tutut Soeharto sebagai penanggung jawab Bank Yama menyelesaikan kewajiban dan dinyatakan selesai setelah memperoleh Surat Keterangan Lunas pada 2003.

Berdasarkan data resmi di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Prastowo menambahkan, Tutut Soeharto adalah komisaris utama atau direktur utama PT CMNP, pada periode 1987-1999. “Persis saat pemerintah mengucurkan BLBI. Ibu Tutut juga komisaris utama dan pengendali Bank Yama, sesuai penyelesaian kewajiban di BPPN,” ujar Prastowo.

Selanjutnya: Keterlibatan keluarga Tutut Soeharto berlanjut...

Kemudian, kata Prastowo, keterlibatan keluarga Tutut Soeharto berlanjut, diteruskan ke anaknya Danty Indriastuty P sebagai komisaris di PT CMNP, sejak 2001. Pada waktu itu diketahui ada tiga entitas milik Tutut Soeharto (bukan CMNP) memiliki utang pada bank-bank yang disehatkan BPPN. “Ini yang ditagih hingga kini.”

Lalu, Prastowo berujar, sengketa dimulai. BPPN tidak mau membayar deposito  PT CMNP karena berpendapat ada afiliasi atau keterkaitan, yaitu Tutut Soeharto sebagai direktur utama PT CMNP sekaligus komisaris utama Bank Yama (yang dimiliki 26 persen), sehingga tidak sesuai ddengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 179 Thun 2000 tentang Penjaminan.

Sehingga, atas hal tersebut, kata Prastowo, PT CMNP mengajukan gugatan yang dimenangkan oleh pengadilan, hingga Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung pada 2010. Pertimbangan hakim saatu itu, meski bukti-bukti sesuai hukum, tapi keputusan BPPN dianggap merugikan pemegang saham mayoritas (selain Tutut Soeharto). “Demikian duduk perkara sengketa,” ucapnya.

Dia pun mengunggah salinan Putusan Mahkamah Agung itu. Di mana negara yang telah mengucurkan dana untuk menyelamatkan perbankan dan perekonomian, tidak punya kontrak dengan pihak tersebut. Justru dihukum untuk membayar deposito dan giro, ditambah dengan denda. “Tentu kita hormati putusan pengadilan,” tutur dia.

Sedang terhadap tagih negara ke tiga entitas yang berafiliasi dengan Tutut Soeharto, pemerintah terus melakukan upaya penagihan. “Akselerasi terjadi sejak dibentuk Satgas BLBI, yang dikomandoi Pak Mahfud MD. Semoga dapat dituntaskan di era Presiden Jokowi ini,” ujar Prastowo.

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

M. Khory Alfarizi

Alumnus Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Bergabung di Tempo pada 2018 setelah mengikuti Kursus Jurnalis Intensif di Tempo Institute. Meliput berbagai isu, mulai dari teknologi, sains, olahraga, politik hingga ekonomi. Kini fokus pada isu hukum dan kriminalitas.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus