Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTUNG-rugi menjadi anggota organisasi kopi internasional (ICO) dan organisasi karet alam internasional (INRO) sedang dikaji ulang oleh Indonesia. ''Jika ruginya lebih besar, kemungkinan kita akan menarik diri,'' kata Menteri Perdagangan, Billy Joedono, Juli lalu. Bak gayung bersambut, ancaman Billy dipertajam oleh Menteri Pertanian, Sjarifudin Baharsjah. ''Kedua organisasi itu telah gagal memperjuangkan harga komoditi. Buat apa mempertahankan diri menjadi anggota,'' ujarnya, seperti dikutip Neraca. Bagi eksportir kopi, masa suram yang harus dihadapi tampaknya semakin panjang. Karena pasokan melimpah, sudah bertahun-tahun harga kopi terus menukik. Dari Rp 6.000/kg tujuh tahun lalu, kini di bawah Rp 1.500/kg. Menghadapi oversupply itu, ICO malah tak bisa berbuat banyak. ''Jangan mimpi ICO bisa berbicara masalah peningkatan harga yang wajar,'' sergah Oesman Soedargo, Wakil Ketua Umum Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI). Selain kondisi pasar buyer's market, ICO adalah wadah bersama, untuk negara produsen maupun konsumen kopi. Jadi, tak terlalu salah bila ICO cenderung pasif. Sementara itu, produsen kopi terbesar seperti Brasil lebih banyak bertindak demi kepentingan sendiri ketimbang untuk kepentingan sesama produsen kopi. Jalan buntu serupa juga dialami komoditi karet. Harganya kini hanya 79 sen dolar per kg, sementara harga ideal bagi produsen sekitar US$ 1 per kg. Penyebabnya sama: suplai berlebihan. Dan INRO juga pasif. ''Kalau INRO tak mau mengatasi masalah ini, untuk apa organisasi ini dipertahankan?'' kata O.K. Cornel, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo), kepada Sri Wahyuni dari TEMPO. Oesman juga setuju bila Indonesia keluar dari ICO. Tapi, satu hal pasti, keluar dari ICO ataupun INRO bukanlah jalan keluar yang tepat. Seharusnya, negara produsen keluar bersama-sama dan membentuk organisasi baru yang anggotanya hanya negara produsen. Menurut Cornel, anggota Gapkindo siap jika Pemerintah memutuskan keluar dari INRO. Nah, melihat reaksi yang keras itu, Menteri Perdagangan malah terenyak. ''Kita tak boleh tergesa-gesa. Semuanya perlu dipelajari dulu,'' kata Billy. BS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo