Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekspor bijih bauksit resmi dilarang pemerintah per 10 Juni 2023. Plh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Ronald Sulistyanto mengungkapkan sudah tidak ada lagi kegiatan ekspor bauksit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Udah nggak ada, semua mata sudah melotot di pelabuhan angkut. Nggak bisa (ekspor bijih bauksit)," kata Ronald saat dihubungi Tempo, Ahad malam, 11 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Lebih lanjut, Ronald tidak sepakat jika pemerintah menilai aturan tersebut bisa mempercepat pembangunan smelter, dengan datangnya investor-investor baru.
"Itu satu hal yang hampir-hampir tidak mungkin," ujar dia.
Menurut Ronald, pelarangan ekspor, hilirisasi, dan masuknya investor masing-masing berdiri sendiri. Dia menilai, ketiga hal itu tidak ada korelasinya satu sama lain. Justru, kata dia, dengan larangan ekspor para investor bertanya-tanya. Sebab, terlihat aturan yang dikeluarkan pemerintah RI tidak bisa diprediksi.
"Saya berani jamin, tidak akan mungkin begitu (ekspor bijih bauksit) dilarang, besok ada investor datang," tegas Ronald.
Dia menjelaskan, hal itu diketahuinya karena dia memiliki anggota hampir 70 perusahaan. Selain itu, Ronald mengaku sudah mengelilingi berbagai negara untuk melakukan pembicaraan dengan para investor.
Lebih jauh, Ronald mencontohkan pada 2014 sempat terjadi larangan ekspor bijih bauksit juga. Namun, hanya satu smelter yang tercipta dalam 10 tahun.
"Betapa sulitnya. Karena apa? Biayanya sangat mahal. Biayanya US$ 1,2 miliar untuk 2 juta ton output," papar Ronald.
Selanjutnya: Biaya tersebut tak sebanding dengan....
Biaya tersebut tak sebanding dengan pembangunan smelter nikel. Dia mencontohkan smelter feronikel berkisar US$ 100-150 juta.
"Jadi selama ini pemerintah selalu menggandengkan keberhasilan nikel. Wah, salah besar. Nikel sangat berbeda jauh dengan bauksit," ungkap Ronald.
Selain investasi nikel lebih murah daripada bauksit, Ronald menilai investor nikel lebih cepat balik modal. Menurut dia, lima tahun sudah balik modal sedangkan investor bauksit butuh waktu 12-15 tahun.
Selain itu, smelter bauksit perlu area tanah yang lebih luas. Dia mencontohkan smelter PT Well Harvest Winning yang seluas sekitar 2.000 hektare.
"Kalau di bauksit, bank pemerintah aja nggak mau membiayai, gimana? Memberi kredit aja nggak berani. Bagaimana bank asing? Lebih parah lagi," ungkap Ronald.
Adapun larangan ekspor bijih bauksit diumumkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dua tahun usai memberlakukan larangan ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020.
Jokowi mengklaim, kebijakan tersebut sudah meningkatkan nilai ekspor nikel dari Rp 17 triliun atau setara US$ 1,1 juta pada akhir 2014 menjadi Rp 326 triliun atau setara US$ 20,9 juta pada 2021. Jumlah tersebut meningkat 19 kali lipat.
Hal itu menjadi salah satu dorongan bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan serupa terhadap komoditas tambang lain, seperti bauksit. Bauksit yang diolah dan dimurnikan bisa menjadi alumina yang bernilai delapan kali lipat. Sementara alumina yang ditingkatkan menjadi aluminium bernilai hingga 30 kali lipat dibandingkan dengan bijih bauksit.
AMELIA RAHIMA SARI | RIANI SANUSI PUTRI | ANTARA
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini