Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTIKAIAN mengenai penjualan saham ADC (Australian Dairy Corp.)
di PT Indomilk akhirnya mampir juga ke Bina Graha. Adalah Ketua
BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) Suhartoyo, dan Menteri
PAN JB Sumarlin yang menyampaikan laporan itu ke meja Presiden
Soeharto. "Sesungguhnya masalah ini tidak begitu penting sekali
seandainya usaha penjualan saham itu wajar," kata Suhartoyo.
"Sayangnya oleh pihak-pihak yang bersangkutan dibuat semacam
berita besar."
Tapi 25 Agustus itu, uhartoyo sendiri memberikan berita besar:
ADC, katanya sudah menyetujui menjual sahamnya (375 lembar)
seharga US$ 4,5 juta kepada PD & I Marison NV, pemegang saham
50% di Indomilk. Menurut Suhartoyo, pembeli akan melakukan
pembayaran tahap pertama US$ 1 juta. Sedang sisanya (US$ 3,5
juta) akan dibayar dalam jangka lima tahun tanpa bunga. "Jadi
nilai efektifnya jika dibayar kontan kira-kira US$ 3,5 juta,"
ujarnya.
Nahar Zahiruddin Tanjung, Dirut Indomilk, malah menyebut ADC
sudah setuju jika kelak saham yang dibeli Marison itu dialihkan
ke Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Menurut Nahar yang
mewakili kepentingan Marison di Indomilk, persetujuan itu
dicapai 9 Juni silam. "Harga saham seluruhnya itu US$ 3,5 juta,"
katanya kepada wartawan TEMPO Marah Sakti.
Tapi sehari sebelum Suhartoyo mernberikan penjelasan itu,
Malcolm Vawser Komisaris Utama ADC, mengatakan bahwa ADC belum
memutuskan menjual sahamnya ke Marison. Pernyataan itu selaras
dengan pesan teleks yang disampaikan Vawser kepada Dirut PT
Kebun Bunga Raj Kumar Singh, calon pembeli pertama saham ADC.
Menurut pesan teleks 11 Agustus tadi, ADC telah menerima
penawaran Marison untuk membeli saham ADC di Indomilk. "Tawaran
itu telah didiskusikan oleh direksi perusahaan, tapi tak ada
keputusan diambil," tulis Vawser.
Dalam percakapan telepon dengan Zulaikha Chudori, pemb antu
TEMPO di Canberra, Vawser juga mengisyaratkan bahwa transaksi
penjualan saham ADC akan banyak ditentukan oleh keputusan
Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Atas permintaan PT Kebun Bunga,
pengadilan itu 9 Agustus lalu meletakkan sita jaminan atas
kekayaan ADC di Indomilk.
Menurut Vawser, pemerintah Indonesia telah memberi isyarat tak
akan menyetujui penjualan saham ADC ke Kebun Bunga. Apakah
isyarat itu resmi? "Well, tidak secara tertulis," katanya. Ad
akah pemerintah menekan ? "Saya tidak bisa mengatakan pemerinah
Indonesia menekan," tambahnya.
Dalam pertikaian itu memang, pemerintah jelas memberikan
dukungan penuh pada Marison -- seperti disampaikan Menteri PAN
JB Sumarlin dalam pesan teleks 2 Agustus kepada Nahar
Zahiruddin. Secara hukum kedudukan Marison sesungguhnya juga
sudah kuat. Sebab, menurut surat edaran Ketua BKPM 26 Juni 1969,
tiap perubahan atau pengalihan saham di dalam perusahaan PMA
pada prinsipnya harus disetujui semua pihak (para pemegang
saham).
Apalagi rencana penjualan saham ADC ke Kebun Bunga itu, menurut
kesan Ketua BKPM Suhartoyo, tidak akan mendapat persetujuan dari
pihak Indonesia di Indomilk (Marison), sebagai pemegang hak opsi
pertama untuk membeli. Dengan dernikian, kata Suhartoyo, jika
BKPM menerima formulir pengalihan saham (aplikasi model III)
tanpa adanya tanda tangan salah satu pihak (Marison), maka
instansi itu tidak akan menyetujui permohonan pengalihan
tersebut.
Sampai di babak ini Marison berhasil mengantungi angka lebih
banyak daripada Kebun Bunga. Dalam keadaan seperti itulah, Dirut
Kebun Bunga Kumar Singh, mengaku "bingung". Dia was-was, dan
belum yakin apakah ADC benar sudah menentukan sikap. "Kabar
paling baru saya terima 24 Agustus, Vawser bilang mereka
(direksi ADC) belum memutuskan apa-apa," katanya. "Soal harga
saham bagi saya sekarang no comment. Yang penting, betulkah ADC
sudal menjual sahamnya pada Bapindo?"
Jika anggapan itu benar, maka Kumar Singh tetap bertekad akan
terus memperkarakan ADC di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Dia,
katanya, sudah memasukkan gugatan ingkar janji ke pengadilan
itu. Kumar Singh menganggap ADC telah berkhianat. Sebab calon
pembeli serius itu merasa mempunyai hak membeli sesudah
memasukkan uang US$ 1 juta ke dalam dana perwalian untuk Asia
Dairy Industries (ADI) Ltd, Hongkong, anak perusahaan ADC. Dana
perwalian itu diberikan sesudah Kumar Singh dan Vawser, 20
September 1981, menelurkan pokok-pokok persetujuan mengenai
penjualan saham ADC.
Tapi dalam "Syarat-syarat Pembayaran US$ 1 juta" yang menjadi
lampiran pokok-pokok persetujuan itu, kedudukan Kebun Bunga
tampak lemah. Butir ketiga lampiran itu, misalnya, menjelaskan
bahwa dana US$ 1 juta berikut bunga akan dikembalikan ke Kebun
Bunga jika ADC gagal memperoleh persetujuan penjualan itu dari
para pemegang saham di Indomilk. Kepada TEMPO, Vawser menganggap
"pemberian uang itu hanya sebagai tanda janji untuk menunjukkan
itikad baik saja."
Apakah ADC mempunyai access (bisa mencairkan) uang yang
didepositokan itu. "ADC memilih untuk tidak mempunyai access, "
jawab Vawser. Lalu dia menambahkan. "Kami menganggapnya sebagai
tanda janji bahwa mereka akan melangsungkan pembelian
saham-saham." Dengan kata lain, "ADC hanya menganggap dana itu
sebagai semacam jaminan Kebun Bunga akan menepati janji." Karena
itulah Vawser juga menganggap pokok-pokok persetujuan 20
September 1981 tidak punya ikatan hukum -- semacam letter of
intent (kesediaan membeli) belaka. Apalagi di dalam perjanjian
itu ada satu syarat memberikan kesempatan kepada Marison membeli
saham ADC.
Apa reaksi Kumar Singh? "Yang bilang begitu orang gila!" katanya
setengah berteriak. "Masak letter of intent pakai panjar
segala." Dia berpendapat proses semacam itu sudah lewat.
"Sebelum masuk ke pokok-pokok persetujuan memang ada letter of
intent dulu," tambahnya.
Tapi Kumar Singh mengakui dalam pokok-pokok persetujuan itu
tertera syarat yang menggariskan penjualan saham itu tak
berlaku jika pemerintah Australia tak setuju. Kabarnya, menurut
dia, pemerintah Australia menyerahkan segala sesuatunya pada
ADC, dan dia sanggup menyodorkan bukti persetujuan itu.
Karena merasa dipermainkan ADC, Kumar Singh kemudian membuat
laporan ke Senat Australia. Senator Peter Rae, Ketua Senate
Standing Committee on Finance and Government Operations,
membenarkan telah menerima laporan itu. "Kami masih dalam tahap
mempertimbangkannya, jadi belum memutuskan apa-apa," katanya
kepada TEMPO.
Nahar sendiri tak mau bicara banyak ketika ditanya soal ADC.
"Konsentrasi kami kini pada soal sita jaminan yang ditetapkan
Pengadilan Jakarta Timur," katanya. "Kalau sita jaminan itu
sudah diangkat, baru kami menghadapi persoalan pembelian saham
ADC."
Tapi diam-diam Nahar berhasil melangkah ke atas. Suratnya yang
dikirimkan 11 Agustus ke Ketua Mahkamah Agung Mudjono tentang
sita jaminan mendapat tanggapan. Sesudah menerima laporan dari
lembaga peradilan di bawah MA, dan Hakim Agung Pengawas Wilayah
Pengadilan Tinggi Jakarta, Mudjono Agustus mengeluarkan sebuah
memorandum. Ketua MA itu menugaskan Ketua Pengadilan Tinggi
Jakarta supaya memerintahkan Ketua Pengadilan Jakarta Timur
untuk "mencabut penetapannya sendiri." Dua hari kemudian Ketua
Pengadilan Tinggi Jakarta Soerjono meneruskan perintah itu.
Namun Sunu Wahadi, Ketua Pengadilan Jakarta Timur sampai Senin
pekan ini mengaku belum menerima surat perintah pencabutan atas
ketetapannya itu. "Saya belum terima surat perintah, yang sampai
baru copy surat Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, tanpa nomor
surat, yang ditujukan Panitera Pengganti, dan diantarkan oleh
karyawan Marison," katanya. "Saya ini sifatnya menunggu saja,
begitu ada surat perintah ketetapan, ya saya cabut."
Kendati demikian, karena surat panggilan sudah dikeluarkan, maka
Sunu akan tetap menyelenggarakan sidang 20 September yang
memperkarakan gugatan Kebun Bunga atas ADC. Sudah tahukah Nahar?
"Saya belum terima pemberitahuannya. Tapi saya yakin ini benar,"
sahut Nahar. Kalau begitu memang sedaaap buat Nahar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo