Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MOCHTAR Riyadi, kepala direktur eksekutif Bank Central Asia
(BCA) kelihatan tenang-tenang saja ketika ditanya soal kredit
terkendali yang kembali dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
"Kenapa harus pesimistis," kata bankir yang gesit itu pekan
lalu. Dia menunjuk pada RAPBN 1980/1981 yang meningkat dengan
52%. "Otomatis itu akan meningkatkan kegiatan industri dan
perdagangan," katanya.
Lagipula, seperti disepakati beberapa bankir di Kota,
kebijaksanaan yang sejak beberapa tahun ini ditempuh oleh B.l.
dalam praktek bukanlah sesuatu yang tak bisa ditawar samasekali.
Seperti kata Gubernur B.I. Rachmat Saleh beberapa waktu lalu:
"Kalau saja bank berhasil menunakan dananya yang terbatas
untuk sektor-sektor yang punya prioritas, maka hal itu akan bisa
meyakinkan bank sentral untuk meninjau kembali batasan kreditnya
dari waktu ke waktu."
Plafon kredit atau ceiling itu selalu merupakan titik
pertengkaran antara bank-bank dengan para pejabat B.I. Pihak
bank selalu menuntut diberikannya ceiling yang lebih tinggi
daripada yang ditentukan oleh B.I.
B.I. memang ada juga memberikan kesempatan bagi perkembangan
bank swasta nasional. Salah satu adalah pemberian fasilitas
kredit likuiditas dan kredit gadai ulang. Itu terutama karena
kebijaksanaan B.I. yang membatasi ruang gerak bank asing,
ditambah lagi dengan ketentuan B.I. 27 November tahun lalu yang
menekan ekspansi kredit bank asing.
Untuk bank-bank asing tahun ini, tegasnya mulai 1 April, akan
dikenakan peraturan yang kurang menggembirakan. Pinjaman
antarbank yang mereka peroleh akan dikurangkan dari batas
kredit. Ini berarti, makin banyak bank asing mengumpulkan uang
dari kredit antarbank, makin kecil pula haknya untuk memberi
kredit. Dana ini sebelumnya tidak diperhitungkan dari kalkulasi
batas kredit.
Tapi jangan lupa bank-bank kecil domestik juga akan ikut
terpukul karenanya. Para bankir yang kecil, mengakui memang
bank-bank asing itu banyak memanfaatkan pinjaman antarbank
(call-money). Tapi adalah bankir yang kecil-kecil itu pula yang
banyak memperoleh pinjaman dari bank-bank asing itu.
Lalu bagaimana? "Yah, bank-bank pemerintah harus bekerja lebih
giat untuk menyalurkan dana ke sektor produksi di dalam negeri,"
komentar kalangan perbankan swasta di Jl. Kopi, Kota, "Jangan
hanya memutarkan rupiahnya di pasar uang."
Barangkali itu juga yang menjadi sebab bank-bank asing sejak
Oktober lalu seakan berlomba menarik dana dari masyarakat.
Mereka, melalui iklan-iklan yang gemerlapan di koran-koran yang
beroplah besar di Jakarta, saling menawarkan suku bunga yang
menarik untuk deposito berjangka, baik dalam bentuk valuta asing
maupun rupiah.
Dir-Ut PT Bank Perniagaan Indonesia Firmanto Soejatman
beranggapan, keputusan B.I. yang mulai berlaku 2« bulan lagi itu
belum terasa pengaruhnya. Tapi menurut bankir pribumi itu,
penentuan ceiling baru per 1 April nanti "hendaknya jangan
memukulratakan yang besar dengan yang kecil." Bankir yang pernah
bekerja di Citibank, Jakarta itu berpendapat pemerintah perlu
memberi kelonggaran sedikit. Maksudnya? "Yah misalnya dengan
memberikan persentasi yang lebih besar dibandingkan yang
diperoleh bank-bank kelas kakap," katanya.
Ketua I Perbanas, I Nyoman Moena, sependapat keadaan bank-bank
kecil swasta nasional akan bertambah sulit. Mereka ini menurut
Nyoman, yang juga Dir-Ut Overseas Express Bank, harus
menyesuaikan diri dengan keadaan: tambah modal atau merger.
Tapi inilah yang sulit atau tidak akan mereka lakukan.
Yang jelas "tahun ini bakal banyak bank-bank swasta menggiatkan
penarikan dana dari masyarakat," ujar Mochtar. Tapi bagi
bank-bank kecil swasta menarik dana seperti deposito dari
masyarakat tidaklah mudah. Masyarakat hanya mau menyimpan
dananya di bank-bank yang dianggapnya aman atau kuat dengan
memberikan imbalan bunga yang menarik. Karena keadaan bank-bank
kecil itu umumnya lemah, sulit baginya bersaing dengan
bank-bank besar.
Itu diakui Dir-Ut Nyoman maupun Ferry Soejatman. Menurut mereka
"bank swasta nasional harus hidup lebih dewasa." Meskipun belum
bisa melepaskan dirinya 100% dari pengaruh bank pemerintah,
"kita harus mulai mencari dana di luar sektor bank pemerintah,"
kata Dir-Ut BPI itu. Antara lain misalnya meningkatkan jasa bank
dan menarik tabungan masyarakat dan melaksanakan KIK/KMKP.
Sampai akhir tahun lalu tak kurang dari 6 bank swasta nasional
yang melaksanakan KIK/KMKP: Marannu Bank, Bank Niaga, Bank
Pacific, Bank NISP, overseas Express Bank dan Bank Dagang Bali.
Mulai Januari lalu, BCA yang masuk kelompok pengusaha terkenal
Liem Sioe Liong itu telah melaksanakan KIK/KMKP untuk pengusaha
batik di Solo. "Total KIK yang kami berikan bulan lalu sebanyak
Rp 600 juta," kata Mochtar Riyadi. Itu sebagian dari rencana KIK
tahun ini yang seluruhnya berjumlah Rp 3,5 milyar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo