Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sedikit Longgarlah

Plafon kredit atau ceiling baru akan menyulitkan bank swasta nasional. giat mencari dana disamping minta persentasi.

16 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOCHTAR Riyadi, kepala direktur eksekutif Bank Central Asia (BCA) kelihatan tenang-tenang saja ketika ditanya soal kredit terkendali yang kembali dilaksanakan oleh Bank Indonesia. "Kenapa harus pesimistis," kata bankir yang gesit itu pekan lalu. Dia menunjuk pada RAPBN 1980/1981 yang meningkat dengan 52%. "Otomatis itu akan meningkatkan kegiatan industri dan perdagangan," katanya. Lagipula, seperti disepakati beberapa bankir di Kota, kebijaksanaan yang sejak beberapa tahun ini ditempuh oleh B.l. dalam praktek bukanlah sesuatu yang tak bisa ditawar samasekali. Seperti kata Gubernur B.I. Rachmat Saleh beberapa waktu lalu: "Kalau saja bank berhasil menunakan dananya yang terbatas untuk sektor-sektor yang punya prioritas, maka hal itu akan bisa meyakinkan bank sentral untuk meninjau kembali batasan kreditnya dari waktu ke waktu." Plafon kredit atau ceiling itu selalu merupakan titik pertengkaran antara bank-bank dengan para pejabat B.I. Pihak bank selalu menuntut diberikannya ceiling yang lebih tinggi daripada yang ditentukan oleh B.I. B.I. memang ada juga memberikan kesempatan bagi perkembangan bank swasta nasional. Salah satu adalah pemberian fasilitas kredit likuiditas dan kredit gadai ulang. Itu terutama karena kebijaksanaan B.I. yang membatasi ruang gerak bank asing, ditambah lagi dengan ketentuan B.I. 27 November tahun lalu yang menekan ekspansi kredit bank asing. Untuk bank-bank asing tahun ini, tegasnya mulai 1 April, akan dikenakan peraturan yang kurang menggembirakan. Pinjaman antarbank yang mereka peroleh akan dikurangkan dari batas kredit. Ini berarti, makin banyak bank asing mengumpulkan uang dari kredit antarbank, makin kecil pula haknya untuk memberi kredit. Dana ini sebelumnya tidak diperhitungkan dari kalkulasi batas kredit. Tapi jangan lupa bank-bank kecil domestik juga akan ikut terpukul karenanya. Para bankir yang kecil, mengakui memang bank-bank asing itu banyak memanfaatkan pinjaman antarbank (call-money). Tapi adalah bankir yang kecil-kecil itu pula yang banyak memperoleh pinjaman dari bank-bank asing itu. Lalu bagaimana? "Yah, bank-bank pemerintah harus bekerja lebih giat untuk menyalurkan dana ke sektor produksi di dalam negeri," komentar kalangan perbankan swasta di Jl. Kopi, Kota, "Jangan hanya memutarkan rupiahnya di pasar uang." Barangkali itu juga yang menjadi sebab bank-bank asing sejak Oktober lalu seakan berlomba menarik dana dari masyarakat. Mereka, melalui iklan-iklan yang gemerlapan di koran-koran yang beroplah besar di Jakarta, saling menawarkan suku bunga yang menarik untuk deposito berjangka, baik dalam bentuk valuta asing maupun rupiah. Dir-Ut PT Bank Perniagaan Indonesia Firmanto Soejatman beranggapan, keputusan B.I. yang mulai berlaku 2« bulan lagi itu belum terasa pengaruhnya. Tapi menurut bankir pribumi itu, penentuan ceiling baru per 1 April nanti "hendaknya jangan memukulratakan yang besar dengan yang kecil." Bankir yang pernah bekerja di Citibank, Jakarta itu berpendapat pemerintah perlu memberi kelonggaran sedikit. Maksudnya? "Yah misalnya dengan memberikan persentasi yang lebih besar dibandingkan yang diperoleh bank-bank kelas kakap," katanya. Ketua I Perbanas, I Nyoman Moena, sependapat keadaan bank-bank kecil swasta nasional akan bertambah sulit. Mereka ini menurut Nyoman, yang juga Dir-Ut Overseas Express Bank, harus menyesuaikan diri dengan keadaan: tambah modal atau merger. Tapi inilah yang sulit atau tidak akan mereka lakukan. Yang jelas "tahun ini bakal banyak bank-bank swasta menggiatkan penarikan dana dari masyarakat," ujar Mochtar. Tapi bagi bank-bank kecil swasta menarik dana seperti deposito dari masyarakat tidaklah mudah. Masyarakat hanya mau menyimpan dananya di bank-bank yang dianggapnya aman atau kuat dengan memberikan imbalan bunga yang menarik. Karena keadaan bank-bank kecil itu umumnya lemah, sulit baginya bersaing dengan bank-bank besar. Itu diakui Dir-Ut Nyoman maupun Ferry Soejatman. Menurut mereka "bank swasta nasional harus hidup lebih dewasa." Meskipun belum bisa melepaskan dirinya 100% dari pengaruh bank pemerintah, "kita harus mulai mencari dana di luar sektor bank pemerintah," kata Dir-Ut BPI itu. Antara lain misalnya meningkatkan jasa bank dan menarik tabungan masyarakat dan melaksanakan KIK/KMKP. Sampai akhir tahun lalu tak kurang dari 6 bank swasta nasional yang melaksanakan KIK/KMKP: Marannu Bank, Bank Niaga, Bank Pacific, Bank NISP, overseas Express Bank dan Bank Dagang Bali. Mulai Januari lalu, BCA yang masuk kelompok pengusaha terkenal Liem Sioe Liong itu telah melaksanakan KIK/KMKP untuk pengusaha batik di Solo. "Total KIK yang kami berikan bulan lalu sebanyak Rp 600 juta," kata Mochtar Riyadi. Itu sebagian dari rencana KIK tahun ini yang seluruhnya berjumlah Rp 3,5 milyar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus