Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aprindo berancang-ancang membawa kasus utang minyak goreng ke ranah hukum.
Selain peretail, produsen minyak goreng akan menuntut pemerintah lewat jalur hukum.
Kemendag menyebutkan masih perlu proses untuk membayarkan utang rafraksi.
PROGRAM minyak goreng satu harga yang dicanangkan pemerintah pada Januari 2022 masih menyisakan banyak masalah. Program yang hanya sempat berjalan sekitar satu pekan itu berbuntut panjang: pemerintah belum membayar utang rafaksi minyak goreng kepada pengusaha retail maupun produsen minyak goreng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Piutang para pengusaha itu bersumber dari selisih biaya produksi minyak goreng dengan harga jualnya atau rafaksi. Total tagihan para pengusaha kepada pemerintah diklaim mencapai Rp 344 miliar. Sejak awal 2023, persoalan ini sebetulnya sudah disuarakan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Namun, hingga saat ini, kepastian pembayaran piutang mereka masih gelap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami enggak tahu apa alasannya masih ditahan, entah apakah ada niat atau tidak untuk menyelesaikannya," ujar Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey kepada awak media, Rabu, 15 November lalu. Upaya Roy dan rekan-rekannya meminta kejelasan hanya dibalas alasan panjangnya proses pembayaran. Dari perlu adanya fatwa hukum dari kejaksaan, tinjauan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), hingga berbagai rapat koordinasi.
Lantaran ketidakjelasan itu, Roy semakin pesimistis pemerintah akan menunaikan kewajibannya. Aprindo, yang menaungi 31 perusahaan terutang rafaksi, pun kini mulai merencanakan langkah hukum untuk menyelesaikan benang kusut tersebut. Sebelum pergantian tahun, mereka akan melapor kepada kepolisian dan melayangkan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. "Sedang dibicarakan oleh kuasa hukum."
Langkah hukum itu tak hanya dilakukan para pengusaha retail, tapi juga didukung para produsen minyak goreng yang senasib. Hingga kini, setidaknya ada lima perusahaan produsen minyak goreng yang berancang-ancang menggugat persoalan ini secara hukum. Namun Roy enggan mengungkap produsen mana saja yang turut menuntut pelunasan piutang rafaksi tersebut.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI) Uswati Leman Sudi membenarkan bahwa ada beberapa perusahaan produsen minyak goreng yang akan mengangkat perkara ini ke ranah hukum. "Sebab, kerugiannya sangat besar. Untuk satu industri, bisa ratusan miliar rupiah," ujarnya. Tempo telah berupaya meminta konfirmasi ihwal permasalahan ini kepada Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga. Namun, hingga laporan ini ditulis, ia tak merespons.
Minyak yang dijual dengan harga Rp 14 ribu per liter di Pasar Kosambi, Bandung, Jawa Barat, 2022. TEMPO/Prima Mulia
Pangkal Persoalan Rafaksi
Persoalan ini bermula dari meroketnya harga minyak goreng hingga Rp 20 ribu per liter di pasar pada awal 2022. Pemerintah pun memutuskan penerapan satu harga minyak goreng Rp 14 ribu per liter. Untuk mewujudkannya, pemerintah menyiapkan skema penggantian selisih harga produksi dengan harga jual menggunakan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Lembaga tersebut setidaknya menyiapkan Rp 7,6 triliun untuk dana rafaksi.
Subsidi tersebut berlaku mulai 19 Januari 2022 pukul 00.00 WIB di toko retail modern. Sedangkan di pasar tradisional, pemerintah memberi waktu penyesuaian selambat-lambatnya sepekan dari tanggal tersebut. Kala itu, pemerintah akan mensubsidi 250 juta liter minyak goreng kemasan per bulan. Program ini dipayungi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 Tahun 2022. Menyitir aturan tersebut, BPDPKS akan melunasi klaim pengusaha paling lambat selama 17 hari kerja, jika produsen dan pedagang sudah melengkapi dokumen yang diperlukan serta telah diverifikasi lembaga independen.
Dalam perjalanannya, aturan tersebut justru dicabut dan diganti dengan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Sawit pada 26 Januari 2022. Namun aturan ini menyebutkan pelaku usaha yang terdaftar dalam Permendag Nomor 3 Tahun 2022 masih dapat menyelesaikan tugasnya untuk mengadakan minyak goreng kemasan hingga 31 Januari 2022. Pencabutan aturan program minyak goreng satu harga tanpa diikuti penerbitan peraturan peralihan itu dianggap menjadi penyebab BPDPKS tidak dapat melakukan pembayaran.
Roy menyayangkan ketidakjelasan pembayaran utang rafaksi sampai saat ini. Musababnya, sejak awal pemerintahlah yang membujuk para pelaku usaha untuk membantu program tersebut. "Dalam satu malam, kami diminta menjual dengan harga Rp 14 ribu per liter di seluruh Indonesia," ujarnya. Saat itu para pengusaha retail membeli minyak goreng dengan harga Rp 18-19 ribu per liter. "Dari awal sudah rugi, sekarang satu tahun sudah hilang, nilai tersebut sudah turun."
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada Mei lalu memperkirakan tagihan utang rafaksi itu mencapai Rp 1,1 triliun. Rinciannya, Rp 700 miliar piutang produsen dan distributor minyak goreng, lalu sisanya piutang 600 korporasi retail modern di seluruh Indonesia.
Estimasi itu muncul karena rafaksi adalah selisih antara harga acuan keekonomian (HAK) dengan harga eceran tertinggi (HET). Berdasarkan informasi pemerintah, HAK minyak goreng kemasan pada Januari 2022 sebesar Rp 17.260 atau di bawah harga rata-rata pasar Rp 20.914. Sementara itu, berdasarkan Permendag No. 3 Tahun 2022, HET minyak goreng kemasan adalah Rp 14 ribu.
Atas persoalan itu, komisioner KPPU, Chandra Setiawan, mengatakan lembaganya menyarankan Kementerian Perdagangan mengeluarkan regulasi pelaksanaan kewajiban pembayaran rafaksi minyak goreng kepada pelaku usaha yang telah selesai diverifikasi. KPPU melihat pelaku usaha mengalami dua kali kerugian, yakni selisih HAK dengan harga pasar serta selisih HAK dengan HET.
"Adanya gangguan kebijakan berkaitan dengan rafaksi dapat menimbulkan iklim usaha yang tidak kondusif karena tidak memberikan kesempatan berusaha yang sama bagi para pelaku usaha," ujarnya. Apalagi para pelaku retail sempat mengancam akan berhenti menjual minyak goreng jika piutang tersebut tak kunjung dilunasi. KPPU khawatir akan ada kerugian masyarakat akibat sengkarut ini.
Minyak goreng kemasan di pasar swalayan Griya di Bandung, Jawa Barat, 22 Juni 2022. TEMPO/Prima Mulia
Kepada Tempo, Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengatakan lembaganya siap membayar rafaksi tersebut sepanjang telah ada hasil verifikasi dari Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan. "Itu adalah dasar pembayaran, sebagaimana ditetapkan dalam Permendag Nomor 1 juncto Nomor 3 Tahun 2022."
Dalam beberapa kesempatan, sejumlah petinggi Kementerian Perdagangan, dari menteri hingga pejabat eselon I, mengatakan mereka telah mengantongi fatwa hukum dari kejaksaan hingga jawaban atas permintaan tinjauan dari BPKP. Namun, sampai saat ini, rencana pembayaran rafaksi itu toh masih belum jelas.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim mengatakan kementeriannya masih terus berkoordinasi dengan berbagai kementerian dan lembaga perihal pembayaran rafaksi minyak goreng. "Kami tetap berproses. Tapi, karena ada beberapa pertimbangan, ini masih terus berkoordinasi dengan kementerian lain," katanya pada pekan lalu.
Isy menyatakan kementeriannya telah menerima surat dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, yang isinya menyebutkan bahwa masalah ini harus diputuskan antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Perekonomian. Namun, kata dia, keputusan itu masih perlu waktu dan tahapan. Pembayaran baru bisa dilakukan jika berkas telah lengkap dan sudah terverifikasi.
Menurunkan Kepercayaan kepada Pemerintah
Peneliti pangan dari Center of Reform on Economics (Core), Eliza Mardian, mengatakan pemerintah harus mencari jalan tengah untuk menyelesaikan permasalahan ini agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Ia khawatir pemerintah akan menerapkan kebijakan serupa di kemudian hari yang membutuhkan dukungan dunia usaha. "Ketidakpastian seperti itu akan mengganggu stabilitas dalam negeri, mengingat minyak goreng adalah komoditas pangan strategis."
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Ayip Said Abdullah menyatakan industri minyak goreng memiliki peran sangat besar karena menguasai bahan baku hingga produk akhir. Persoalan ini bisa menurunkan kepercayaan kepada pemerintah sehingga dikhawatirkan partisipasi swasta dalam menjalankan kebijakan pemerintah ikut turun.
"Bukan berarti pemerintah harus tunduk pada swasta, melainkan pemerintah harus memenuhi kewajiban atas kebijakan yang sudah berjalan. Basis datanya harus dipegang agar situasinya win-win," ucapnya.
Adapun Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung berujar, karut-marut perkara rafaksi ini harus menjadi pelajaran di kemudian hari: pemerintah harus berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan agar kepastian hukum dan berusaha tetap terjaga.
Sebelum mengeluarkan suatu kebijakan, kata Tungkot, pemerintah harus sudah menganalisis dampaknya dan pihak-pihak yang terimbas, serta menyiapkan mitigasinya. "Industri kita perlu kepastian hukum agar bisa berkontribusi maksimal dalam pembangunan."
CAESAR AKBAR | ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | RIANI SANUSI | ANT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo