Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
JAKARTA – Proses penyusunan dan persiapan kebijakan sistem Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) membutuhkan waktu lama. Bank Indonesia merencanakan sistem pembayaran yang efisien sejak 20 tahun lalu dengan menciptakan interkoneksi dan interoperabilitas sistem pembayaran, dimulai dari kartu ATM/debit. “Kami sering dikritik karena mengeluarkan kebijakan yang kesannya tak populis. Memang butuh waktu untuk mengedukasi. Di akhir, tetap konsumen atau masyarakat yang diuntungkan,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Elektronifikasi dan Gerbang Pembayaran Nasional Bank Indonesia, Pungky Wibowo, kepada Tempo.
Pungky menjelaskan, setelah peraturan GPN diterbitkan pada 2017, BI segera berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti bank, lembaga switching, lembaga acquirer, dan lembaga services. “Kami mensyaratkan seluruh penyelenggara sistem pembayaran domestik terhubung dengan GPN. Caranya dengan menata ulang infrastruktur,” ucapnya.
Bank sentral mendorong perbankan untuk mengkoneksikan langsung mesin electronic data capture (EDC) dan ATM, serta mempersiapkan penerbitan kartu ATM/debit berlogo GPN. “Kami sudah mulai mengerjakan itu dari pertengahan tahun lalu.”
Pungky secara khusus menyebutkan perbankan milik negara (Himbara) dan bank-bank besar kategori BUKU IV punya andil besar dalam menyukseskan program ini. Keterlibatan mereka dimulai sejak 2016, yakni masuk ke dalam working group secara intensif, mengkaji kemungkinan pengembangan kapasitas teknis, bisnis, kelembagaan, dan regulasi untuk mendukung implementasi GPN. “Kami memberikan kesempatan mereka untuk juga memberikan input,” kata Pungky. Bank Indonesia menargetkan transaksi sistem pembayaran dengan GPN sudah dapat beroperasi secara penuh pada 2019.
Selanjutnya, BI membentuk konsorsium lembaga services dalam GPN yang diharapkan mulai beroperasi penuh pada Juli nanti. Modal awal konsorsium sebesar Rp 50 miliar itu pun ditanggung oleh anggota lembaga services, antara lain empat bank: PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Central Asia (Tbk). Adapun tugas lembaga services mencakup jaminan keamanan transaksi, rekonsiliasi kliring settlement, mendorong perluasan akseptasi instrumen nontunai, hingga perlindungan konsumen.
Penyesuaian pun terjadi pada empat lembaga principal yang berubah menjadi lembaga switching dalam GPN. Empat perusahaan itu adalah PT Artajasa Pembayaran Elektronis (ATM Bersama), Rintis Sejahtera (ATM Prima), PT Daya Network Lestari (ATM Alto), dan PT Jalin Pembayaran Nusantara (JPN). “Perubahan terbesar ada di model bisnis mereka untuk konteks GPN. Tidak lagi disebut full principal, tapi lembaga switching, karena ada pemilahan fungsi,” kata Pungky.
Direktur Utama PT Artajasa Pembayaran Elektronis, Bayu Hanantasena, menyatakan pihaknya harus melakukan sejumlah penyesuaian, dari sebelumnya ATM ke instrumen dan kanal pembayaran, proses bisnis, hingga struktur organisasi. “Tugas utamanya routing transaksi. Dulu, sebelum ada GPN, kami belum punya komunitas debit seperti ini. Sekarang bertambah sangat cepat. Bulan April kemarin saja sudah lebih dari Rp 1 triliun volume transaksinya,” ujarnya.
Bayu mengatakan, berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, lembaga switching bisa membuka kerja sama dengan principal asing. “Sudah ada yang melakukan pendekatan dan harus ada persetujuan juga dari BI,” katanya.
Saat ini Artajasa mengelola anggota-anggota ATM Bersama yang sudah terdaftar, yang kini sudah mencapai 94 anggota. Adapun 16 di antaranya sudah dapat terkoneksi dengan GPN, 58 masih dalam proses pengujian, dan sisanya masih mempersiapkan sistem. “Sisanya banyak bank yang kecil-kecil, yang belum punya izin,” kata Bayu.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo