Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Sri Mulyani Heran Harga Pasar Karbon Berbeda padahal Komoditas Sama

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku heran dengan harga pasar karbon yang berbeda di beberapa negara. Padahal, komoditasnya sama yakni CO2 atau karbondioksida.

19 Februari 2023 | 12.48 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani didampingi Wamenkeu Suahasil Nazara mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 26 Agustus 2020. Dalam raker tersebut, Sri Mulyani dan Komisi Xi membahas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan pada APBN 2019. TEMPO/Tony Hartawan
material-symbols:fullscreenPerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani didampingi Wamenkeu Suahasil Nazara mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 26 Agustus 2020. Dalam raker tersebut, Sri Mulyani dan Komisi Xi membahas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan pada APBN 2019. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan atau Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengaku heran dengan harga pasar karbon yang berbeda di beberapa negara. Padahal, komoditasnya sama, yakni CO2 atau karbondioksida.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Sri Mulyani mengatakan tantangan terbesar dalam mekanisme transisi energi adalah membangun infrastruktur energi dengan prinsip adil dan terjangkau. Banyak negara yang memiliki kebutuhan untuk terus tumbuh dan berkomitmen terhadap pengurangan emisi karbon, namun membutuhkan energi yang sangat mahal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Di Indonesia, 62 persen energi berasal dari batu bara dan lebih dari 90 persen sebenarnya adalah bahan bakar fosil. Kami ingin meningkatkan energi terbarukan menjadi 23 persen,” kata Sri Mulyani pada acara Munich Security Conference di Jerman, Jumat, 17 Februari 2023.

Sri Mulyani melanjutkan, pembiayaan menjadi elemen yang sangat penting di dalam mekanisme transisi energi. Menurutnya, transisi dari energi berbasis fosil ke energi terbarukan memerlukan kekuatan dari sisi keuangan dan teknologi.

“Berapa biayanya dan siapa yang harus membayar? Apa insentif untuk membayar itu jika ada? Apakah akan disubsidi? Apakah pemerintah memiliki kemampuan untuk mensubsidi transisi ini? Ketika Anda dapat menghitung berapa biayanya, dari mana pembiayaan ini berasal? Apakah itu publik, lembaga multilateral, sektor bilateral atau swasta? Berapa biaya untuk setiap sumber pembiayaan? Apalagi dengan situasi saat ini dimana suku bunga semakin tinggi, maka cost of fund akan semakin mahal,” papar Sri Mulyani.

Selain itu, kata dia, energi terbarukan juga membutuhkan investasi, modal, dan teknologi yang berbeda di setiap negara.  Menurut Sri Mulyani, perubahan iklim adalah masalah publik global sehingga tidak dapat diselesaikan sendiri oleh masing-masing negara.

"Kita berbicara tentang komoditas yang sama, yaitu CO2 karbon. Tapi sekarang jika Anda melihat dunia, harga karbon berbeda. Beberapa negara sudah menerapkan pasar karbon dengan harga yang berbeda, bahkan beberapa negara tidak memiliki pasar karbon,” bebernya.

Sri Mulyani melanjutkan, jika sebuah pemerintahan tidak memiliki posisi fiskal yang sehat maka akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu, Indonesia pada Presidensi G20 2022 melakukan langkah nyata dengan meluncurkan mekanisme transisi energi dan mendapatkan perhatian dari banyak negara, termasuk Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang.

Indonesia menempatkan keuangan berkelanjutan di dalam banyak pembahasan bersama Menteri Keuangan, Gubernur bank sentral, para pembuat kebijakan, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk menciptakan kepercayaan dan membuat solusi konkrit.

“Itu sebabnya selama G20 di Indonesia, mereka mengumumkan bahwa kemitraan transisi energi berjanji akan dialokasikan hingga US$ 20 miliar (sekitar Rp 303,3 triliun) untuk Indonesia dalam rangka mendukung transisi ini,” tutur Sri Mulyani.

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

Amelia Rahima Sari

Alumnus Antropologi Universitas Airlangga ini mengawali karire jurnalistik di Tempo sejak 2021 lewat program magang plus selama setahun. Amel, begitu ia disapa, kembali ke Tempo pada 2023 sebagai reporter. Pernah meliput isu ekonomi bisnis, politik, dan kini tengah menjadi awak redaksi hukum kriminal. Ia menjadi juara 1 lomba menulis artikel antropologi Universitas Udayana pada 2020. Artikel yang menjuarai ajang tersebut lalu terbit di buku "Rekam Jejak Budaya Rempah di Nusantara".

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus